Kamis, 15 Desember 2011

My Mom is My Hero!

     Sore itu, suasana di Kota Bandung, Jawa Barat tampak hangat. Matahari bersinar sangat terang dengan sinar jingganya yang begitu menghangatkan bumi, burung-burung tampak berkicauan sembari melintas di angkasa, dan bunga-bunga tampak bermekaran dengan indah di taman-taman yang terdapat di sudut Kota Bandung. Suasana yang begitu menghangatkan dan menyejukkan hati yang lagi gundah.
    Sore itu pula, tampak di salah satu rumah warga di sudut Kota Bandung, seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan tahun, tampak duduk tenang diatas pangkuan sang Ibu sambil bercengkerama. “Ibu, Kenapa sih, pengen kerja jadi jurnalis? Padahal, jadi jurnalis itu kan, pekerjaan yang melelahkan?” tanya gadis kecil itu kepada sang Ibu. Sang Ibu lalu mengelus rambut sang Anak dan menjawab, “Sayang, Kamu tahu nggak? Bekerja menjadi seorang jurnalis itu, menyenangkan. Kita bisa berkeliling dunia, mewawancarai banyak orang yang belum kita kenal, dan menemukan teman sejati. Memang menurut sebagian orang bekerja sebagai seorang jurnalis itu melelahkan, tapi, bagi Ibu tidak. Justru, Ibu malah tambah semangat,” jelas sang Ibu. “Tapi, Bu, Aku takut kalau Ibu bekerja sebagai jurnalis,” timpal sang Anak. “Takut? Takut kenapa?” tanya sang Ibu. “Aku takut kehilangan Ibu. Sekarang kan, banyak seorang jurnalis itu meninggal gara-gara menjalankan tugas mereka sebagai seorang jurnalis. Aku takut, hal itu akan terjadi pada Ibu,” kata sang Anak dengan mimik wajah sedih. “Sayang, Pekerjaan jurnalis itu memang penuh tantangan. This is a job very challenging! Ini sudah takdir Ibu, Sayang. Kalaupun nanti jika Ibu meninggal jika menjalankan tugas Ibu sebagai seorang jurnalis, Ibu senang, Sayang. Kamu tahu? Itu sama saja Ibu berjuang di jalan Allah atau Ibu perang syahid. Dan, kamu tahu, Sayang? Orang yang meninggal pada saat perang syahid, Allah akan meridhoi dan memasukkan mereka ke dalam surga tercinta Allah. Sungguh, itu sesuatu yang sangat bahagia, Sayang! Jurnalis adalah pekerjaan mencari kemulian di jalan Allah, sama seperti layaknya seorang guru,” jelas sang Ibu dengan suara lemah lembut. Sang Anak bangkit dari pangkuan Ibunya, lalu memeluk Ibunya dengan erat. “Ibu, Jika hal itu terjadi dengan Ibu, Jujur saja, aku belum siap, Bu! Aku belum siap ditinggal pergi selama-lamanya oleh Ibu,” kata sang Anak dengan suara serak. “Makanya sayang, Selalu berdoa untuk keselamatan Ibu, tetapi, toh kalau Ibu ditakdirkan Allah meninggal saat menjalankan tugas Ibu, Kamu harus siap, Sayang! Harus. Terima semuanya dengan hati yang ikhlas dan lapang dada,” kata sang Ibu sambil mengecup kening sang putri tunggalnya, dengan penuh kasih sayang.
    Pelangi Aurora Zahara, adalah nama gadis kecil tadi. Gadis yang masih duduk di bangku kelas tiga SD, yang mempunyai seorang Ibu yang bekerja sebagai seorang jurnalis. Wajahnya sangat cantik, rambutnya panjang dan lurus, dan bola matanya bulat dan bersinar terang. Ia merupakan anak satu-satunya dari kedua orang tuanya, yaitu, Pak Hardian Syahputra atau yang biasa dia panggil Ayah, dan Ibu Putri Callista Anugerah, atau yang biasa dia panggil Ibu. Ayahnya seorang dokter jantung di sebuah rumah sakit swasta di Bandung sementara Ibunya, ya, seperti yang kalian ketahui tadi, seorang jurnalis. Menjadi anak tunggal, tentu merupakan hal yang tidak enak bagi Zahara, panggilan akrabnya. Namun, karena dia memiliki banyak teman dan memiliki seorang pengasuh pribadi, jadinya, hari-harinya selalu diisi dengan canda tawa teman-temannya maupun pengasuhnya yang selalu menghibur dia jika dirinya sedang kesepian. Satu hal yang bisa kamu kenali dari diri Zahara, Zahara adalah sesosok gadis cantik yang snagat berjiwa sosial tinggi dan cinta akan Penderita AIDS (ODHA). Dirinya, walaupun masih berusia sembilan tahun, sudah bergabung sebagai relawan AIDS di YAI (Yayasan Aids Indonesia) karena begitu cinta dan sayangnya dia kepada teman-teman sesamanya yang menderita Penyakit AIDS. Sungguh, Anak yang sangat baik dan berhati nurani!
Pukul 22. 30 WIB…
     “Ibu, Ibu mau kemana?” tanya Zahara, saat ia menjelang tidur. “Sayang, Maafin Ibu, tadi Ibu ditelepon sama atasan Ibu, bahwa Ibu disuruh ke Marseille, Prancis, karena disana sedang ada demonstrasi mengenai masalah pajak,” jelas Ibu. Tiba-tiba, Zahara memiliki perasaan hati yang tidak enak, dan seketika itu dia tidak memperbolehkan Ibunya pergi. “Jangan Ibu! Ibu jangan pergi,” kata Zahara. “Loh? Memang kenapa, Zahara?” tanya Ibunya lagi seraya mendekati tubuh anaknya itu. “Mmm…Pokoknya Ibu jangan pergi!” teriak Zahara. “Ada apa dengan kamu, Zahara? Tidak biasanya kamu seperti ini? Lagi pula, tenang saja, kan, ada Ayah,” kata Ayah sambil memegang pundakku. “Tapi, Aku takut akan ada sesuatu buruk ayng terjadi pada Ibu. Jangan pergi, Bu,” pinta Zahara, lalu terduduk lemas. “Sayang, Ibu nggak kenapa-kenapa, kok. Doakan Ibu saja, ya, Sayang. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Yakinkan hati Zahara bahwa Ibu tidak akan kenapa-napa. Ibu, berangkat dulu ya, Sayang,” kata Ibu lalu mengecup kening Zahara dan pergi menuju garasi untuk mengambil mobil. Tak lama, terdengarlah suara derum mobil. Ibu pergi.
    “Ayah, Aku sebenarnya punya firasat nggak enak untuk Ibu, Yah. Makanya aku tidak mengizinkan Ibu Pergi. Ayah, aku takut,” kata Zahara lalu menangis dan memeluk Ayahnya dengan erat. “Cup…Cup…Cup…Jangan menangis, dong! Istigfar sama Allah dan berdoa untuk keselamatan Ibu,” kata Ayah sambil mengelus punggung anak tercintanya itu. “Sekarang, kita ke kamar, ya! Malam ini, Ayah akan temani Zahara tidur sampai Zahara terlelap,” kata Ayah sambil menggiring putrinya itu menuju kamar.
Ketika pagi hari menjelang…
    Pagi mulai menjelang. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Kicauan burung mulai terdengar, menandakan waktu pagi telah tiba saatnya. “Sayang…Bangun! Sudah pagi,” Sang Ayah mebangunkannya sang gadis kecilnya. Perlahan, Zahara mulai membuka kedua kelopak matanya dan mendapati Ayahnya sedang tersneyum kepadanya. “Ayah,” katanya masih sedikit megantuk. “Selamat pagi, Anak Ayah yang cantik,” kata Ayah sambil mencium pipi chubby anaknya itu. “Pagi, Ayah. Gimana, Apakah Ibu sudah mengabari bahwa dirinya sudah sampai di Prancis?” tanya Zahara. “Belum, Sayang. Kan, perjalanan dari Indonesia ke Prancis jauh. Mungkin, sekarang Ibu masih di pesawat,” jelas Ayah. Zahara hanya manggut-manggut mengerti. “Sekarang, kamu mandi terus sarapan pagi, ya! Ayah sudah siapkan sarapan kesukaan kamu di meja,” kata Ayah. “Iya, Tapi, sekarang Ayah mau kemana?” tanya Zahara. “Ayah harus ke rumah sakit, Sugar! Ayah punya pasien yang lagi sakit, tapi, tenang saja, Itu nggak akan berlangsung lama. Good bye, Sugar! Muach!” kata Ayah lalu mencium kening putrinya itu dan pergi.
    Usai mandi dan sarapan pagi, Zahara pun mulai beranjak duduk dan bersantai di kursi sofa yang empuk dan nyaman itu, sembari menonton televisi. Saat ia, menekan salah satu channel televisi, ia benar-benar kaget dan tercengang. Ekspresi wajahnya benar-benar tidak bisa dijelaskan. Tampak seorang pembawa berita di televisi, berkata, “Seperti yang kita ketahui bersama pemirsa, bahwa pesawat Air Star yang berangkat dari Indonesia menuju Prancis, jatuh di perairan Selat Inggris sebelum akhirnya tiba di bandara Prancis. Seluruh penumpang maupun awak pesawat dinyatakan tewas dan semua korban meninggal tersebut sudah dievakuasi sejak tadi dan akan di berangkatkan kembali ke Indonesia pada petang nanti. Dan, berikut nama-nama korban tewas tersebut yang berasal dari Indonesia,”
1.      Arifullah Pratama Aziz            16 tahun.
2.      Sallisa Margaretha Nindyta      32 tahun.
3.      Putri Callista Anugerah            30 tahun.
4.      Putra Khairullah                        27 tahun.
5.      Mardianta Mananta Afrian       19 tahun.
“MBAK RITA!!!” teriak Zahara dengan suara menggelegar. “Kenapa, Non? Ada apa?” tanya Mbak Rita, pengasuh Zahara, dengan wajah tercengang dan kaget. “Ib…Ibbu…Mbak! Lihat! Ib…Ibbu…meninggal!!!” kata Zahara sambil menunjuk ke arah layar televisi. “Astaugfirullah! Innalillahi wa innailahi rojiun…,” kata Mbak Rita. “Huhuhu…IBU! IBUUU….,” teriak Zahara kemudian menangis. “Sabar, Non…Sabar! Ikhlaskan semua ini,” kata Mbak Rita sambil mengelus-elus pundak Zahara. “Tapi, aku nggak bisa terima semua ini, Mbak! Aku nggak bisa! Huhuhu…,” kata Zahara tanpa berhenti menangis. “Sekarang, aku mau telepon Ayah, mbak! Tolong, ambilkan aku telepon!” pinta Zahar dengan suara sendu. Mbak Rita pun langsung mengambil telepon untuk Zahara. Zahara pun segera menelepon sang Ayah. “Halo. Assalamu’alaikum. Ayah?” tanya Zahara. “Iya. Wa’alaikum salam. Kenapa, Sayang?” tanya Ayah di seberang. “Ayah…Ayah lihat TV! Ibu…Ayah…Ibu! Ibu meninggal, Kecelakaan pesawat! Lihat, Ayah! Lihat!” teriak Zahara di telepon. “Innalillahi wa innailahi rojiun. Iya, Sayang…Ayah lihat. Sekarang, Ayah balik pulang ke rumah,” kata Ayah tercengang mendengar berita ini. Zahara pun segera mematikan telepon dan kembali menangis tersedu-sedu. “Hhh…Ibu…Ibu…Ibbu…! Jangan tinggalin Zahara, Bu! Huhuhu…Ibu…,” tangis Zahara bertambah kencang. “Sabar, Non Zahara! Ikhlaskan semua ini, ini takdir Ilahi, Non!” kata Mbak Rita lagi sambil memeluk Zahara dengan sayang. “Mbak! Huhuhu…Sekarang, Aku nggak bisa lihat Ibu lagi, Mbak! Ibu sekarang sudah pergi. Huhuhu…,” Mbak Rita pun juga ikut menangis, merasakan kesedihan yang amat sangat yang terjadi pada sosok gadis kecil dihadapannya.
    Tak lama kemudian, Ayah pun datang. “Ayah…!!!” teriak Zahara lalu berlari dan memeluk Ayahnya dengan erat. “Huhuhu…Ibu, Ayah! Ibu…Ibu meninggal,” tangis Zahara. “Iya, Sayang! Cup…Cup…Cup. Ikhlaskan semua ini dan kita harus sabar dan tabah, Sayang,” kata Ayah lalu menggendong tubuh anaknya yang terlihat lemas itu ke dalam kamar.
    “Cup…Cup…Cup…Sayang, Sayang, Jangan nangis! Cup…Cup…Kalau nangis terus, Ayah juga sedih, Sayang. Cup…Cup,” kata Ayah sambil menenangkan putri kecilnya yang menangis deras itu. “Ayah…Aku belum bisa menerima semua ini dengan ikhlas. Aku belum bisa, Yah! Karena aku masih ingin melihat Ibu dengan senyuman dan kelembutannya yang begitu hangat. Aku masih ingin lihat itu!” kata Zahara. “Tapi, Allah telah mentakdirkan Ibu untuk meninggal sekarang dan kita tidak akan pernah bisa menentang takdir Allah. Ikhlaskan, kuatkan hatimu, dn tabahlah hadapi ini semua. Dibalik semua kesedihan dan cobaan yang Allah berikan kepada kita, pasti kita dapat hikmahnya, Sayang. Jangan menangis, semua yang ada di dunia ini milik Allah termasuk nyawa kita, ada di tangan Allah. Hanya takdir Allah yang mengaturnya, Sayangku,” kata Ayah sambil menciumi wajah gadis kecilnya itu. Kemudian, Ayah pun memeluk tubuh anaknya itu dan berkata dalam lubuk hatinya, ‘Anakku, Kasihan sekali dirimu! Di usiamu yang masih sembilan tahun, Ibumu sudah pergi meninggalkan kamu. Tetapi, Ayah berjanji, Sayang. Akan tetap menjadi orang tua terbaik bagi kamu, yang dapat menjadi pengganti Ibumu dan menjadi sinar kecerahan kepada dirimu sampai kapan pun,’ kata Ayah dalam hati.
    Esok harinya, betempat di Taman Makam Husein Syahid, digelarlah proses pemakaman Ibunda Zahara, yakni Alm. Ibu Putri Callista Anugerah. Tampak di pemakaman itu, ada kerabat-kerabat Ayah dan Ibu, saudara sedarah dan sekandung dari Ayah dan Ibu, teman-teman sekolah Zahara, dan masih banyak lagi. Semua orang disitu berpakaian hitam dan membawa sekeranjang bunga mawar segar dan wangi yang akan ditaburi di makam almarhum Ibu Zahara. “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Innalillahi wa innailahi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah almarhum Ibu Putri Callista Anugerah. Beliau meninggal saat menjalankan tugas beliau sebagai seorang jurnalis. Semoga amal kebaikan beliau diridhoi oleh Allah swt., dilindungi dari siksa kubur, dan ditempatkan disisi Allah. Amin ya robbal ‘alamin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” kata Uztad Dian Syuhada, yang memimpin doa dan prosesi pemakaman almarahum Ibu Zahara. Zahara masih tampak mengeluarkan air mata. Sedih dan pedih hatinya akan ditinggalkan sang Ibu tercinta untuk selama-lamanya. “Sabar ya, Sayang! Jangan menangis terus. Kalau menangis terus nanti Ibu nggak tenang disana,” kata Tante Mayra, adik kandung sang Ayah. Sementara sang Ayah ikut menguburkan jasad sang Ibu di liang lahat. “Iya, Tante, Makasih ya, sudah peduli dan sayang sama Zahara. Maafin kesalahan-kesalahan Ibu kalau selama ini Ibu punya salah sama Tante,” kata Zahara sambil menghapus air matanya yang jatuh. “Pasti, Sayang. Tante sudah maafin kesalahan-kesalahan Ibu Zahara,” kata Tante Mayra dengan lembut.
    Usai pemakaman itu berakhir, satu per satu para kerabat Ayah dan Ibu maupun lainnya mulai meninggalkan makam. Yang tersisa, tinggallah Ayah dengan Zahara. “Sayang, Sekarang Ibu sudah tidak ada. Tinggal kamu dan Ayah, tapi, kamu jangan sedih, Sayang, karena masih ada Ayah, Ayah janji sama kamu, Ayah bakal menjadi pengganti Ibu dan akan menjadi Ayah yang terbaik untuk kamu,” kata Ayah sambil menatap wajah anaknya itu dengan senyuman. “Iya, Ayahku Sayang. Aku berjanji nggak akan terus-menerus berlarut-larut dalam kesedihan. Kalau aku menangis terus, Ibu pasti sedih juga disana,” kata Zahara. “Nah, gitu, dong, Itu namanya baru anak Ayah!” kata Ayah sambil memeluk tubuh putri tersayangnya itu. “Sekarang, kita berdoa dulu yuk untuk Ibu, Yah,” Ayah mengangguk. Mereka berdua kemudian merapat dan berjongkok di sebelah makam sang Ibu. “Ya Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ampunilah dosa-dosa Ibuku. Jauhkanlah Ibuku dari siksa kubur maupun siksa neraka, Ya Allah. Tempatkanlah Ibu di sisi-Mu. Berikanlah Ibu kenyamanan maupun kehangatan disana, Ya Allah. Amin,” “Sekarang, Kita pulang, yuk, Sayang,” ucap Ayah. “Sebentar Ayah, Aku ingin berkata kepada Ibu sebelum aku meninggalkan makamnya,” kata Zahara. Zahara kemudian memegang nisan sang Ibu, lalu berkata, “Ibu, Selamat tinggal! Walaupun, kita tidak akan pernah bertemu untuk selama-lamanya, tetapi, aku akan selalu merekam dan memaknai setiap kenangan maupun kebaikan Ibu dalam ingatan maupun hatiku. Terima kasih, Ibu, karena Ibu sudah melahirkan aku ke dunia ini dengan senyuman dan kebahagiaan. Terima kasih juga atas kebaikan Ibu padaku selama Ibu masih hidup. Sekali lagi, Terima kasih, Bu! Ibu adalah pahlawan sejati dalam ibuku! Mom is My Hero in my life! Thanks to all…And I Love you, Mom…,” kata Zahara lalu mencium nisan sang Ibu. Kemudian, sang Ayah meggandeng tangan gadis kecilnya itu untuk pergi meninggalkan makam, dengan senyuman indah tentunya…Mereka berdua berjanji akan terus tersenyum dan tertawa untuk melewati segala lika-liku kehidupan yang ada dan akan terus berjuang untuk meraih impian di dunia yang agung dan begitu indah ini…Life is so beautiful!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar