Sabtu, 31 Agustus 2013

Kisah Para Pemimpi

Biarkan mimpi itu terus tergenggam kuat dalam diriku. Biarkan jiwa tak mudah menyerah menempel lekat dalam desir darah nadiku. Biarkan semua kekuatan itu menyatu menjadi sebuah mimpi yang nyata dan akan terwujud suatu saat nanti. –Sindai, Sang Penari.
“Alena Putri Tamara.” Bu Mayang, wali kelas 9-1 memanggil nama seorang muridnya dari balik meja gurunya dengan suara tegas. Sesosok gadis bertubuh tinggi semampai kemudian berjalan ke arahnya dengan raut wajah muram seolah sudah tahu apa yang ingin dikatakan wali kelasnya itu.
“Ini rapor kamu. Hasilnya...sudah bisa kamu bayangkan, kan?” Gurunya menatap gadis itu sambil menghembus napas berat. Gadis itu hanya diam sambil mengangguk pendek.
“Alena, tolong kamu katakan pada ibu apa yang membuat kamu jadi susah berkonsentrasi. Lihat nilai-nilaimu. Semuanya turun drastis.” Alena, nama gadis itu kemudian menatap nilai rapornya semester ini dengan wajah kaku seperti es batu. Tenggorokannya terasa tercekat sesuatu.
“Saya...akhir-akhir ini memang susah berkonsenstrasi, Bu. Mungkin karena manajemen waktu saya jelek sehingga saya tidak bisa mengatur kapan saya harus belajar giat kapan melakukan aktivitas selain itu.” bohongnya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ada masalah lain yang membuatnya jadi begini. Sulit berkonsentrasi dan nilainya amblas mendadak.
“Alena, kamu sudah kelas sembilan. Tidak sampai setahun lagi, kamu akan menghadapi yang namanya UAN untuk menentukan kelulusanmu. Saya mohon sama kamu, prioritaskan jadwal belajar kamu. Kurangilah aktivitas-aktivitas yang kurang penting. Kamu bisa melakukannya, kan?” Alena diam saja.
“Ibu benar-benar nggak ngerti sama diri kamu sekarang. Nilai ulangan yang selalu turun, konsentrasi kemana-mana, beda sekali dengan dulu. Selalu masuk tiga besar dan nilai ulangan selalu bagus. Diri kamu yang dulu kemana, Alena?” Guru bertubuh mungil itu menatapnya dengan cemas. Kacamatanya merosot sampai hidungnya.
“Maaf, Bu. Saya akan berusaha memperbaikinya lagi di semester baru nanti agar saya bisa mendapatkan nilai UAN yang maksimal.” kata Alena.
“Kamu janji?”
“Saya tidak bisa janji, Bu, tapi saya akan berusaha menunjukkan yang terbaik.” Alena bergegas menuju bangkunya sambil menenteng rapotnya. Teman-teman sekelasnya menatap ke arahnya dengan pandangan mencemooh.
“Masa yang juara kelas terus dari kelas tujuh nilainya banyak yang merah, sih?”
“Merasa sok otak Einstein, jadinya begitu. Huh!”
“Orang pintar sih banyak, tapi yang bisa mempertahankan kepintarannya cuma sedikit!” Alena yang mendengar itu semua merasa sedih dan terpedaya. Ia terpaku diatas bangkunya sambil menatap rapor hitamnya yang terlihat tajam di hadapannya. Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tak jatuh, namun pandangannya lama-lama semakin kabur dan air matanya perlahan menetes.
‘Maaf ya, Papa, Mama. Aku tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kalian.’
***
Alena membanting pintu kamarnya dengan keras setibanya disana. Tasnya dilempar begitu saja. Ia kemudian menangis tertelungkup di balik bantal tidurnya.
‘Aku ingin bebas. Aku tidak ingin terus seperti ini. Aku ingin leluasa mengarungi dunia. Bisakah hentikan semua paksaan tolol ini?’ gumamnya dengan hati yang berkelit. Ia kemudian duduk bersimpuh sambil memeluk lututnya. Dipandanginya dinding kamarnya yang penuh dengan foto-foto hasil jepretannya. Semuanya tampak natural, lembut, dan mengandung nilai estetika yang bagus. Alena dulu pernah mengutarakan cita-citanya kepada orang tuanya ingin menjadi seorang fotografer. Berkeliling dunia, memotret objek yang menarik, dan ingin punya nama besar. Sayangnya, orang tuanya menganggapnya sia-sia. Alena ingat betul kata papanya.
“Terlalu sayang otakmu untuk sekadar jadi fotografer. Tidak bisa bikin kaya.” Sementara mamanya, selalu memaksanya menjadi seorang dokter, cita-cita yang sangat mustahil baginya. Bermimpi memakai jas putih saja tidak pernah terpikir olehnya, apalagi harus membersihkan darah dan melihat mayat? Lebih baik mengunyah lem karet. Orang tuanya adalah seorang yang sangat cerdas dan punya nama besar di bidang sains. Papanya seorang teknisi mesin dan ibunya seorang dokter  bedah. Namun, tak satu pun itu semua melekat dalam diri Alena. Ia lebih suka dengan seni. Fotografi yang sangat dicintainya. Namun, hidup di keluarga seperti ini membuat keinginannya tidak terpenuhi. Orang tuanya lebih menginginkannya menjadi dokter dan punya penghasilan yang tinggi. Tidak seperti fotografer yang kerjanya tidak bisa sewaktu-waktu.
“Aku sudah dewasa Pa, Ma. Izinkan aku untuk menentukan pilihan cita-citaku dan mengasah kemampuanku.” Orang tuanya menentang keras kala Alena berkata seperti itu. Alena hanya bisa mengunci bibirnya. Saat ini yang dirasakannya hanya rasa sedih dan terkekang. Ia sangat haus. Haus rasa kebebasan dan ingin menjadi dirinya sendiri.
***
“Mama benar-benar tidak habis pikir kenapa nilai kamu bisa turun drastis seperti ini.” Itulah ungkapan pertama yang diucapkan mamanya ketika melihat rapornya.
“Maaf.” Mama menutup rapot itu dengan kasar.
“Kenapa sih kamu bisa seperti ini? Kamu melupakan impianmu menjadi dokter?” tanya mama keras.
“Sudah kubilang aku tidak ingin jadi dokter, Ma. Aku inginnya jadi fotografer!” berontak Alena.
“Alena, itu cita-cita yang konyol. Tidak bisa membuat kamu kaya. Berhentilah berkhayal jika suatu hari nanti ada yang ingin membeli fotomu dan menggajimu seratus juta.”
“Ma, itu cita-citaku. Kenapa mama selalu melarangku? Aku ingin jadi fotografer bukan karena untuk bisa kaya tapi aku bahagia menjalaninya. Mama mungkin tidak mengerti bagaimana rasanya, tapi aku tahu rasanya itu seperti apa.” Mamanya memandang sinis.
“Papa barusan telepon Mama. Dia sangat kecewa padamu.”
“Aku juga sangat kecewa sama papa dan mama. Karena kalian tidak pernah mau mengerti dan mendukung apa yang aku inginkan.” Alena langsung berlari menuju kamarnya tanpa mempedulikan mamanya yang mengomel dari luar kamar. Hatinya saat ini terasa sakit sekali. Sakit yang lebih sakit dari yang dirasakan batinnya. Alena tahu, saat-saat ini akan selalu hadir tak terelakkan untuknya.
***
Pintunya berderit pelan ketika ia baru saja memasukkan batteray charger kameranya ke dalam lemari.
“Bi Ningsih?” Alena menyambut pengasuhnya itu dengan ringan.
“Non, liburan tidak jalan?” tanya Bi Ningsih sambil membuka jendela kamar Alena. Alena menggeleng.
“Memang mau jalan kemana, Bi? Di Bontang tidak ada yang menarik untuk difoto. Semua tempat sudah pernah aku kunjungi.” jawab Alena.
“Coba ke acara Erau Pelas Benua di Guntung deh, Non. Acara adatnya Suku Dayak. Disana banyak atraksi dan tradisi Suku Dayak. Keren deh.”
“Keren? Bibi yakin?” Alena sedikit tak yakin dengan acara daerah semacam itu.
“Iya, Bibi sudah pernah lihat beberapa kali tahun kemarin. Disana kita bisa lebih bisa menghargai budaya daerah kita sendiri lho, Non. Kita juga bisa belajar banyak tentang tradisi-tradisi Suku Dayak ataupun Suku Kutai.” Bibinya menatapnya dengan sinar mata yang meyakinkan. Alena melihat bibinya, lalu mengangguk setengah yakin.
“Boleh deh, Bi. Kapan acaranya?”
“Besok hari pembukannya. Pasti rame deh jadi Non Alena bisa mengambil objek foto yang banyak. Non Alena masih cinta sama fotografi, kan?” Alena mengangguk mantap. Bi Ningsih segera beranjak dari ranjang Alena sambil membisikkan sesuatu di telinga Alena.
“Kalau yang namanya cinta terhadap sesuatu itu harus terus dicintai, Non. Meski kondisinya tidak seperti yang Non Alena harapkan. Tapi percaya deh, Non suatu saat sesuatu yang Non cintai itu bisa berbuah manis dan membuat Non menjadi bahagia kemudian menjadi orang yang dicintai semua orang.”
***
Alena bergegas menemui Pak Marwan, sopirnya tanpa memedulikan rambutnya yang masih menjuntai basah sehabis keramas.
“Ayo, Pak antar saya ke Guntung. Nanti saya terlambat.” Pak Marwan yang sedang meneguk kopinya sedikit tersedak.
“Ini masih pagi, Non. Non memangnya sudah sarapan?”
“Nggak penting ah, Pak sarapan. Nanti saya telat lho, Pak memotret acara pertamanya.” Pak Marwan mengangguk lalu segera berlari ke garasi, memanaskan mobil. Tanpa basa-basi Alena langsung masuk ke dalam mobil dan mobil pun mulai melaju, meninggalkan kawasan kompleks perumahannya yang elite itu.
***
“Non, sudah sampai.” Alena segera terjaga dari tidurnya dan membuka seatbelt-nya. Guntung rupanya sudah dipenuhi orang dan tampaknya acara pertama sudah dimulai. Alena segera mengalungkan kamera Nikon miliknya dan berjalan menuju pendopo. Atraksi pertama yaitu Tari Jepen yang merupakan tarian penyambutan upacara Erau Pelas Benua. Acara ini disusul dengan penaburan bunga kepada tamu yang tujuannya agar mendapat keberkahan dan keselamatan selama kunjungan dalam rangkaian acara Erau Pelas Benua ini. Saat melihat penari yang sedang menarikan Tarian Jepen di atas pendopo dengan gerakan yang luwes, Alena begitu terkesiap melihat seorang penari bertangan buntung diatas panggung yang benar-benar menakjubkan. Tariannya begitu lemah gemulai dan lebih luwes dibanding penari lain. Alena segera mendekatkan diri ke dekat panggung lalu memotret penari itu. Ekspresi gadis itu benar-benar sangat lembut dan tenang. Alena berencana mengobrol dengan gadis itu usai tarian tersebut selesai. Namun, sebelum sempat impiannya terwujud, badan mungilnya mulai terombang-ambing oleh banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara yang hadir. Kepalanya terasa pening, sepertinya penyakit anemianya akan kambuh. Matanya kembali berkunang-kunang dan tak lama ia terjatuh dan tak ingat apa-apa.
***
“Hai, kamu tidak apa-apa?” Suara lembut mulai merambati telinganya. Aroma dupa yang begitu menyengat membuat kelopak matanya terbuka.
“Kamu siapa?” tanya Alena dengan suara yang terdengar berat.
“Aku Sindai.” jawab gadis itu singkat. Alena celingukan. Dia sedang berada di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan tampak dipenuhi dengan berbagai macam ornamen khas Suku Dayak.
“Kamu tadi pingsan. Lalu, tetua adatku membawamu kesini.” Gadis itu kemudian menyerahkan segelas air putih kepada Alena. Mendadak Alena merasa familier dengan wajah gadis itu. Astaga, itu penari bertangan buntung itu!
“Kamu tadi yang menari saat acara penyambutan, kan?” Gadis itu mengangguk sekilas.
“Gerakanmu benar-benar sangat luwes dan indah. Menurutku, kamu tadi menari lebih baik dari penari lainnya.”
“Ah, tidak. Kamu terlalu berlebihan memujiku.” Gadis itu kemudian beranjak dan berjalan menuju pekarangan rumahnya yang sederhana.
“Boleh mengobrol sebentar?”
“Niatku memang ingin mengajaku mengobrol sejak tadi.” Sindai, namanya mempersilahkan Alena duduk di sebelahnya.
“Kamu siapa?”
“Aku Alena.”
“Kalau boleh kusarankan kamu cocok sekali menjadi seorang penari profesional. Kamu punya bakat yang cemerlang, pasti kalau sering dilatih semuanya bisa menjadi nyata.”
“Impianku sedari dulu memang ingin menjadi seorang penari. Ingin menunjukkan kepada dunia bahwa aku walau cacat tapi tetap bisa menari. Lalu, aku ingin mengangkat budayaku agar bisa dikenal semua orang. Anak-anak muda zaman sekarang terlalu terpengaruh dengan modernisasi. Aku sangat takut jika mereka terlalu melupakannya, warisan budaya kita akan hilang. Kita bukan lagi negara berbudaya. Kita bukan lagi siapa-siapa jika warisan budaya kita hilang.” Alena terpengarah. Gadis ini benar-benar hebat. Di zaman sekarang sangat sulit rasanya menemukan gadis yang masih menjaga warisan budaya.
“Orang tua kamu selalu mendukungmu?”
“Pasti. Mereka membebaskanku memilih jalanku sendiri. Mereka menyuruhku untuk terus mengasah bakatku walau dengan kondisi fisik tak sempurna. Aku harus percaya dengan mimpiku sendiri. Karena bagaimana pun, masa depanku ada dalam mimpi dan cita-citaku sekarang.” kata Sindai lalu mengelap keringat di dahinya.
“Tapi...,” Alena tiba-tiba teringat dengan orang tuanya.
“Menurutmu bagaimana dengan orang tua yang memaksakan kehendaknya untuk anaknya? Misalnya memaksa anaknya menjadi dokter.”
“Aku juga heran banyak orang tua memaksakan anaknya memilih jalan yang tidak dicintai anaknya. Menyuruh anaknya menjadi ini dan itu tanpa mempertanyakan anaknya. Menurutku itu tipikal orang tua otoriter. Aku tahu maksud mereka pasti ingin anaknya punya masa depan yang sukses dan lebih baik, tapi bukan begitu caranya.” Alena melihat raut wajah tak suka dari bola mata Sindai.
“Aku terlahir dari keluarga seperti itu, menurutmu apa yang harus aku lakukan?”
“Jangan berhenti mengasah bakatmu. Tetaplah cinta dengan hobi yang kamu sukai. Kamu harus membuktikan bahwa suatu hari nanti kamu bisa sukses dengan bakat yang kamu miliki. Mereka butuh pembuktian. Itu sudah cukup, kok.” Alena mengangguk mengerti.
“Ingat kata-kata ini. Biarkan mimpi itu terus tergenggam kuat dalam diriku. Biarkan jiwa tak mudah menyerah menempel lekat dalam desir darah nadiku. Biarkan semua kekuatan itu menyatu menjadi sebuah mimpi yang nyata dan akan terwujud suatu saat nanti.” Sindai kemudian merangkul Alena dengan bersahaja. Tak terasa, fajar mulai tenggelam di ufuk barat. Kini cerah berganti dengan gelap dan suara petikan sampeq—alat musik daerah Suku Dayak mulai terdengar hening. Alena kemudian berpamitan kepada Sindai dan mengucapkan terima kasih.
“Jangan menyerah, Alena. Kamu pasti bisa menunjukkan kepada orang tuamu kalau kamu bisa menjadi anak kebanggan mereka.” Alena tersenyum lalu segera menyetop angkot yang melintas. Hapenya lowbatt jadi dia tidak bisa menghubungi Pak Marwan, sopirnya. Lebih baik menyetop angkot agar bisa mengantarnya sampai ke rumah.
Suuung...Angin yang begitu kencang membuat selembar kertas lusuh tertempel di wajah Alena.
IKUTILAH LOMBA FOTOGRAFER SE-INDONESIA
KHUSUS PELAJAR SMP
TEMA : LOKALITAS BUDAYA MASING-MASING DAERAH
DEADLINE : 3 MEI 2013
Kirimkan ke alamat: Jln. Kapt. Pierre Tendean, Mampang, Jakarta Selatan. Kode Pos: 45564. Jangan lupa sertakan biodata dan nomor telepon yang bisa dihubungi!
Brilian! Alena tidak memanfaatkan kesempatan ini sia-sia. Ia akan segera mengirimkan beberapa hasil fotonya dan ingin membuktikan kalau ia bisa mewujudkan impiannya menjadi seorang fotografer dan membuat bangga orang tuanya.
***
Jam menunjukkan pukul 07. 15 lalu setelahnya terdengar suara gedubrak dari ranjang tidurnya. Semalam, orang tuanya menceramahinya karena ia pulang terlambat. Pagi ini ia pun bangun terlambat. Jika biasanya ia selalu bangun pukul 06. 00, sekarang baru bangun pukul 07. 15. Ia segera menyalakan komputer lalu akan mencetak beberapa fotonya yang sudah dimasukkan ke komputer tadi malam. Ia memilih beberapa foto yang menurutnya sangat otentik dan artistik. Setelah memilih kemudian mencetak, Alena memasukkan foto-foto itu ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat dan tak lupa menyertakan biodata dan nomor telepon. Karena hari ini jadwalnya untuk kontrol gigi ia akan menitipkan kepada Pak Marwan yang juga akan ke kantor pos hari ini.
‘Kalau memang ini jalan kesuksesanku, mohon mudahkan, Ya Tuhan.’
***
Satu bulan kemudian.
Alena baru saja masuk ke kamar mandi ketika mendengar suara telepon yang berdering. Mama yang mengangkatnya.
“Halo. Selamat sore.” Sapa suara di seberang.
“Sore. Dengan siapa?”
“Saya Vean Yugasvara, panitia penyelenggara lomba fotografi nasional. Apa benar ini rumah Alena Putri Tamara?”
“Benar. Ada hubungan apa anak saya dengan kegiatan ini?”
“Selamat ya, Bu. Anak ibu terpilih menjadi pemenang lomba fotografi tingkat nasional. Minggu depan, kami tunggu kedatangannya di Jakarta. Kami sudah mengiriminya email.” Mama yang mendengar semua ini merasa tak percaya.
“Anda tidak salah orang, kan?”
“Benar, Alena adalah pemenangnya. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.” Penelpon kemudian segera memutuskan jaringan telepon.
“Siapa, Ma?” tanya Papa sambil membaca koran.
“Alena, Pa. Alena, dia juara lomba fotografi nasional!” Seketika itu, Alena yang berada di dekat mamanya tercengang. Apakah telinganya tidak salah dengar? Dia...dia juara lomba fotografer nasional. Pantaskah?
“Mama tidak bohong, kan?” Mamanya menggeleng dan langsung menghambur ke arahnya.
“Sayang, Maafkan papa dan mama yang selama ini memaksa kamu untuk menjadi yang kami inginkan. Mama tidak tahu kalau selama ini kamu punya bakat yang sangat hebat. Mama sayang sama kamu.”
“Papa bangga denganmu, Nak.” bisik papa lembut di telinga Alena. Alena hanya tersenyum kecil, menahan air matanya agar tak tumpah.
***
Convention Hall Center, Jakarta Pusat.
“Jadi, bagaimana tawarannya Nona kecil Alena? Bersediakah memenuhi kontrak majalah kami?” Sebelum ia membubuhkan tanda tangannya, Alena menatap sesaat ke arah orang tuanya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Mereka semua mengerti kamu sebagai anak sekolah. Mereka pasti akan mencarikan event yang pas saat libur panjang.” kata mama.
“Tenang saja, Alena. Kami akan mencarikan acara besar saat liburan sekolah agar tidak menganggu sekolahmu. Peganglah omongan kami.” sahut Pak Yoga, Manager Majalah National Superteens. Alena kemudian membuka tutup pulpennya dan menandatangi kontrak tersebut. Usai penandatanganan kontrak dengan perusahaan majalah remaja terbesar di Jakarta, Alena dikerubungi oleh beberapa wartawan media massa yang hendak mewawancarainya.
“Hai, Alena. Kamu peserta termuda dalam lomba ini. Apa rahasianya bisa memenangkan lomba fotografi ini?”
“Hasil fotografimu benar-benar sangat bagus dan berjiwa seni tinggi. Belajar dari mana?”
“Bagaimana usaha kerasmu memenangkan lomba ini? Fotomu sangat bagus setara dengan fotografer nasional.” Alena menjawab berbagai macam pertanyaan itu dengan lembut. Ia sedikit tak percaya bahwa lomba fotografi yang diikutinya membawa pengaruh besar dalam dirinya. Ia juga tak menyangka bisa memenangkan lomba fotografi karena sebelum-sebelumnya ia selalu kalah. Ah, dia, sang pemimpi yang dulunya pesimis kini telah menemukan impiannya. Meskipun usianya masih muda, masih berseragam biru-putih, dan masih harus membuat mimpi yang lebih matang untuk masa depannnya. Alena menatap bayangan burung elang yang membentang di atas awan, tiba-tiba teringat sosok Sindai, seorang anak adat yang telah menyemangati hidupnya.
‘Terima kasih telah menguatkanku dan membuatku yakin dengan mimpiku sendiri. Suatu saat nanti, kalau kita sama-sama sudah dewasa dan menjadi orang sukses, kita pasti akan bertemu. Kamu menjadi seorang penari hebat dan aku menjadi fotografer profesional. Kita adalah para pemimpi yang tidak akan pernah putus untuk terus bermimpi dan mewujudkan impian kita.’

Kisah Tak Sempurna


Lantunan nada romantis yang mengalun lembut masih terdengar di sepanjang kafe. Udara dingin yang menusuk dan suara petir yang memekakkan membuatnya merasa bosan untuk menunggu lebih lama. Ia memasukkan jari-jarinya ke dalam kantung jaketnya lalu sibuk memperhatikan air hujan yang turun secara berirama.
“Marsha.” Sebuah suara bariton memanggil namanya.
“Are you okay?”
“Not sure. Hujan masih belum berhenti, kapan bisa hunting fotonya?” Sebuah kamera Nikon tegeletak di meja mereka tak berdaya.
“Kalau hujan mau gimana lagi? Kita tunggu sebentar lagi, ya.” Cowok di sampingnya kemudian melipat tangannya di meja dan menatap Marsha sambil tersenyum hangat.
“Serius, aku benar-benar benci hujan!” gerutu Marsha kesal. Rencananya, mereka berdua akan memulai hari pertama liburan sekolah mereka dengan hunting fotografi, sebuah kegiatan yang sangat mereka sukai. Namun, mendadak rencana mereka gagal total akibat hujan yang tanpa permisi langsung mengguyur deras.
“Nikmatin ajalah hujannya. Musim hujan itu musim paling asyik, lho. Dingin tapi menghangatkan. Apalagi kalau kamu disamping aku.”
“Huh, kamu tuh bisanya cuma gombal!” Marsha kemudian mencubit lengan cowok itu dan memperhatikan rambutnya yang semakin hari semakin memanjang dan kulitnya yang semakin gelap. Wajahnya mungkin jauh dari kesan aristokrat seperti yang selama ini semua cewek idamkan. Wajahnya terkesan sangar namun hatinya sangat lembut tak terduga. Sejak pertama kali berjumpa beberapa waktu lalu, ada sesuatu yang mengusik  perhatian Marsha tentang cowok ini. Cowok ini mungkin lebih cocok jadi preman Tanah Abang ketimbang jadi pacar. Namun, entah mengapa cowok ini selalu membuatnya terbayang-bayang dan jatuh hati. Setidaknya sampai sekarang. Perasaannya masih belum berubah.
***
Namanya Banyu. Marsha mengenalnya di sebuah klub fotografi beberapa bulan lalu. Menurut sebagian besar orang, Banyu adalah orang yang menyeramkan. Namun, Marsha nggak gampang percaya dengan semua itu. Diam-diam, ia mulai menyelami karakter Banyu dan tahu sesuatu dibalik itu semua. Ia berasal dari keluarga broken home. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita dan tentu saja itu sangat melukai hati ibunya. Banyu tidak bisa menerima itu semua dan terus memberontak. Ia kemudian pergi dari rumahnya namun tetap mengontrol kondisi ibunya. Maka dari itu, sikap Banyu tiba-tiba berubah drastis. Dari yang suka nongkrong menjadi pendiam dan penyendiri. Dari yang rapi jadi berantakan. Trauma tentang keluarganya yang rusak masih sukar dilupakan olehnya. Marsha pun kemudian hadir untuk Banyu. Mengisi hari-hari Banyu yang sempat kosong dengan segenggam semangat yang menyatukan. Ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa ia jatuh cinta dengan Banyu. Banyu yang menurut orang adalah monster berbentuk manusia, berhasil meluluhkan hatinya. Marsha teringat percakapannya dengan Banyu saat mereka saling mengutarakan perasaan mereka masing-masing.
“Orang boleh mengatakan aku adalah manusia tolol di dunia ini. Tapi, percaya atau nggak aku jatuh cinta sama kamu. Kamu yang berbeda. Kamu yang punya kekuatan untuk melewati hidupmu sendiri.”
“Jatuh cinta itu memang aneh. Bisa terjadi pada siapa dan ke siapa. Aku juga nggak bisa membohongi perasaanku kalau aku juga suka sama kamu. Tapi aku berpikir, apa aku pantas memilikimu? Aku yang katanya orang seperti cowok berandal.” Marsha waktu itu diam saja sambil menangis. Banyu kemudian mengusap air matanya dan memeluknya dengan hangat. Sejak saat itu, mereka meresmikan hubungan mereka tanpa diketahui oleh siapa pun.
***
“MARSHA!” Belum sempat langkah kakinya mencapai halaman rumah, ayahnya sudah meneriakinya dari depan rumah. Sebuah tatapan bengis dan penuh kebencian mengarah ke dua pasang mata Banyu.
“Habis darimana saja kamu dengan orang ini?!” bentah ayahnya keras.
“Aku habis dari kafe, Yah sama Banyu. Rencananya tadi mau hunting tapi karena...”
“ALASAN! Sekarang kamu masuk! Dan kamu cowok berengsek, silahkan tinggalkan rumah kami!”
“AYAH! Jangan berbicara kasar dengan Banyu. Dia cowok yang baik, tidak seperti apa yang ayah pikirkan.” bela Marsha.
“Mata kamu dibutakan apa oleh dia, Sha? Lihat penampilannya. Urakan dan tidak tahu cara berpakaian dengan benar. Cowok seperti ini kamu bilang cowok baik-baik?” Ayahnya kemudian mendorong tubuhnya dan membuatnya tersungkur di lantai.
“Om boleh berbicara kasar dengan saya tapi jangan berlaku kasar dengan anak Om sendiri.” ujar Banyu seraya menangkap tubuh Marsha.
“Lebih baik kamu keluar sekarang juga!” Dengan paksa, Ayah Marsha menarik Banyu keluar dari pagar rumah. Marsha menggamit tangan Banyu namun keburu ditepis dengan ayahnya.
“Banyu.” Marsha berkata lirih.
Don’t worry, Dear. I’m fine.” Banyu kemudian menatap Marsha sesaat lalu tersenyum dan pergi.
***
“Oalah, Nak. Dari dulu ayah sama ibu sudah melarang kamu untuk berhubungan dengan orang itu. Lihat kan, ayah sekarang jadi marah besar!” kata Ibu sambil memangku anak kesayangannya yang sedang menangis.
“Tapi, Bu. Aku cinta sama Banyu. Tampangnya mungkin agak berandalan tapi aslinya dia baik.” kata Marsha sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Kamu baru kelas 1 SMA, Sha! Ngerti apa kamu tentang cinta?” bentak ayahnya dari luar.
“Lagipula kamu bisa mendapatkan cowok yang lebih baik dari Banyu. Kamu anak yang baik, sudah sepantasnya mendapatkan yang baik juga.”
“Ayah tidak mau tahu! Kamu harus memilih. Tetap mempertahankan Banyu atau keluar dari rumah? Ayah nggak ingin punya anak yang berpacaran dengan cowok bertampang berandal!” Hati Marsha tiba-tiba merasa nyeri. Ia merasakan sakit yang lebih dari rasa sakit yang dirasakan batinnya.
***
Jam dua belas telah berdentang sejak lima menit yang lalu. Ia berdiri di antara dua bingkai foto di hadapannya. Pikirannya terasa ruwet memikirkan suatu hal rumit.
“Dalam hidup kadang dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit. Aku nggak tahu harus memilih siapa. Aku benar-benar egois!” Ia menatap bingkai foto itu dengan lekat dan memutar otaknya, mengingat memori penting bersama orang-orang dalam bingkai foto tersebut. Sebuah memori yang nyaris tak terlupakan olehnya. Semuanya terasa indah dan mengalir begitu saja. Lalu, seperti adegan film semuanya berhenti. Ia kembali membuka matanya yang semula terpejam. Ia tarik napasnya lalu menyentuh salah satu bingkai tersebut. Ia berharap semoga pilihannya tak mengecewakan hatinya. Ia menutup salah satu bingkai foto tersebut diselingi dengan tangis bercampur rasa sakit yang menggelora di dadanya.
“Maaf.” Tubuhnya kemudian merosot di lantai. Tulangnya terasa pilu tak sanggup untuk berdiri dan mengungkapkan kebenaran yang ada.
***
Mereka masih membisu sejak sepuluh menit yang lalu bertemu. Taman yang tampak ramai membuat mereka sama sekali tidak berkutik sedikit pun. Mereka tetap diam, bergeming.
“Aku minta maaf soal kemarin.” Marsha akhirnya bersuara.
“Nggak apa-apa.” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir Banyu.
“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah menyesal telah memilikimu. Meski tampangmu berandalan, aku tetap sayang sama kamu. Kamu yang kuat dan bisa menjalani hidupmu dengan baik. Tapi,” Marsha menyapukan pandangannya sesaat ke arah taman.
“Kalau disuruh memilih antara kamu dan orangtuaku, Aku lebih memilih orangtuaku. Mereka adalah segalanya buatku. Maaf, aku nggak bisa mempertahankan hubungan ini.” Banyu sudah menduga Marsha akan mengatakan ini padanya. Meski sakit, Banyu harus lapang menerimanya.
“Aku mungkin memang bukan cowok yang tepat untuk kamu, Sha. Itu pilihan hatimu, aku nggak bisa melarang. Semoga pilihamu tepat.” Marsha kemudian memiringkan wajahnya, menahan tangis. Langit seketika menjadi kelabu. Mereka kemudian beranjak pergi namun Banyu menarik tangan Marsha sesaat.
“Terima kasih untuk semuanya.” Marsha mengangguk sambil tersenyum sedih. Mereka kemudian berpisah ke arah yang berlawanan. Marsha menatap bayangan Banyu yang sudah jauh meninggalkannya. Hatinya sangat pedih menyaksikan itu semua. Ia tak boleh menangis, harus tegar menghadapi semua ini. Dibawah rinai gerimis hujan, Marsha terduduk kaku di atas bangku yang tadi. Mencium aroma tanah basah tanpa kehangatan. Ia disana sendirian. Tak tahu sampai kapan akan disana. Ia tak ingin merencanakannya.
‘Seperti layaknya sebuah kisah semuanya tak selalu berakhir sempurna. Karena di dunia memang nggak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan.’

Selasa, 12 Juni 2012

Senandung Sang Rindu


Pagi menjelang. Matahari mulai menampakkan wajahnya di baris pesona langit biru yang sangat cerah dengan dipadukan sinarnya yang begitu menghangatkan. Hembusan angin pagi pun mulai terasa menyejukkan jelaga jiwa dan melengsanakan hati yang lagi gundah. Burung-burung pun tampak berterbangan membuat cakrawala khatulistiwa pagi itu menjadi sangat indah dan membahagiakan.
Suasana alam memang sangat mencerahkan, tetapi, tidak untuk Marissa. Walaupun suasana diluar sangat cerah tetapi suasana hatinya sedang tidak cerah mengingat banyaknya berbagai macam masalah yang dihadapinya. Diaduk-aduknya terus nasi goreng hangat yang tampak lezat di hadapannya. Namun, ia tidak nafsu makan meningat segala desakan maupun paksaan mamanya yang membuatnya capek dan lelah mendengarnya. ‘Pokoknya kamu harus jadi anak pintar! Berprestasi. Minimal juara kelas. Mama tidak ingin punya anak pemalas dan bodoh. Karena itu sama saja merusak reputasi dan nama baik mama di perusahaan sebagai seorang manager,’ itu yang selalu mamanya ucapkan setiap hari sehingga membuat gadis itu capek dan muak untuk mendengarnya. Reputasi, nama baik, karier, hanya itu yang dikejar oleh mamanya tanpa memikirkan anak gadisnya yang tengah dibuat pusing olehnya.
“Non Marissa...dimakan dong, nasi gorengnya. Jangan diaduk-aduk saja. Apa masakan bibi tidak enak?” tegur Bi Ningsih lembut.
“Oh...ehmm...tidak kok, Bi, enak masakan bibi. Marissa hanya malas sarapan aja,” kata Marissa buyar dari lamunannya.
“Dimakan dong, Non! Nanti Non Marissa bisa sakit, lho. Kalau Non Marissa sakit entar bibi juga yang repot,”
“Ehm, iya deh, Bi. Ini Marissa makan nasi gorengnya,” ujar Marissa mulai menyendok nasi goreng ke mulutnya.
Usai sarapan pagi dilihatnya sang mama baru bangun dari tidurnya dan menuju meja makan untuk mengambil segelas susu hangat. Sang mama bersikap acuh tak acuh seolah tak peduli dengan keberadaan anaknya.
“Ma...,” Marissa membuka awal pembicaraan.
“Ada apa? Kalau mau ngomong cepat. Mama mesti buru-buru mandi terus ke kantor. Hari ini mama harus menemui klien mama,” ujar mamanya ketus. Marissa menatap mamanya sedih sementara mamanya seolah membuang muka padanya. Bi Ningsih hanya bisa menitikkan air mata melihat Marissa yang diperlakukan tak acuh oleh sang mama.
“Nggak, Ma. Marissa hanya pengen pamit berangkat sekolah,” kata Marissa. Mamanya mengulurkan tangannya sambil meneguk segelas susu dan masih tetap membuang muka kepada anaknya itu. Marissa kemudian menyalami tangan mamanya dengan sopan lalu kemudian segera beranjak mengambil tas ranselnya dan berangkat menuju sekolah.
“Hei! Ternyata Nona Stupid sudah datang,” teriak beberapa siswa seketika Marissa baru saja tiba di depan kelasnya. Marissa hanya menunduk menahan air matanya yang hampir jatuh. Sehari-harinya di sekolah Marissa memang dijuluki Nona “Stupid”. Mungkin dikarenakan nilainya yang jelek dan selalu dibawah standar SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Siswa).
“Apa-apaan sih kalian. Kalian emang mau apa dikatain kayak gitu juga, Hah?!?” bela Regita, sahabat baik Marissa. Anak-anak satu kelas langsung mengunci mulut.
“Yuk, keluar kelas! Disini tidak aman buatmu,” ajak Regita seraya menggandeng tangan Marissa keluar kelas.
“Ta, mungkin aku adalah manusia paling bodoh yang ada di dunia ini. Jadinya sangat pantas aku dijuluki anak-anak Nona Stupid,” ujar Marissa saat di kantin.
“Kamu jangan berkata seperti itu, Marissa! Kamu tidak bodoh. Kamu hanya banyak pikiran. Pikiranmu hanya terpusat pada keluargamu yang lagi broken home dan kata-kata mamamu yang membuatmu capek dan muak,” ujar Regita lembut.
“Jangan terus berlarut-larut dalam kesedihan. Jangan pikirkan tentang broken home, perceraian ayah dan mamamu. Tataplah masa depanmu, Marissa! Berusaha untuk mewujudkan kata-kata mamamu. Kalau kamu sudah berusaha semaksimal dan semampu mungkin pasti mamamu akan bangga walaupun usahamu masih gagal,”
“Itu tidak mungkin terjadi, Regita...,” potong Marissa.
“Kenapa tidak mungkin? Aku yakin cepat atau lambat mamamu pasti akan sadar. Makanya kamu berusaha dulu menjadi yang terbaik seperti apa yang mamamu inginkan,” ujar Regita.
“Makasih ya, Ta! Kamu sahabatku yang paling baik. Aku heran, kenapa kamu mau berteman denganku? Padahal aku ini kan bodoh dalam pelajaran tidak sepertimu yang pandai dan aktif dalam organisasi sekolah,”
“Karena dari awal aku bertemu denganmu aku yakin kamu bukan orang yang bodoh seperti apa yang anak-anak bicarakan. Namun, kamu orang yang hebat dengan segala kesabaranmu menghadapi karakter mamamu yang seperti itu. Yah, walaupun kadang-kadang kamu menangis juga, tetapi, kamu tetap the bestlah!” ujar Regita. Kedua sejoli sahabat itu kemudian saling pandang lalu berpelukan dengan erat penuh kehangatan.
Sore hari, sepulang sekolah, Marissa melihat sebuah mobil Merchedes Benz berwarna hitam tampak terparkir di luar pagar rumahnya. Marissa cepat-cepat menyadari karena mobil yang terparkir itu adalah mobil ayahnya. Segera ia membuka pagar rumahnya dan berlari menuju ruang tamu. Dilihatnya disana sang ayah sedang terduduk, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.
“Ayah?!?” Marissa berteriak.
“Sayang, Ayah kangen kamu!” Sang ayah kemudian berlari dan memeluk anaknya dengan erat.
“Ayah, jangan pergi! Temani Marissa disini aja. Marissa tidak ada temannya. Mama selalu tidak memedulikan Marissa, Mama lebih mementingkan kariernya daripada Marissa,” ujar Marissa dalam pelukan ayahnya.
“Ayah juga inginnya seperti itu, Sayang. Namun, itu sudah tidak bisa lagi. Ayah dan mama telah bercerai. Kamu mengertilah dengan kondisi ini, Sayang,” ujar sang ayah. Marissa menangis.
“Kenapa mesti bercerai, Ayah? Apakah keluarga kita yang dulu harmonis dan rukun tidak bisa menyatu kembali? Aku kangen masa itu. Ayah selalu menemaniku belajar dan mengajariku bermain scrabble ataupun catur. Aku kangen mama yang dulu selalu membacakan dongeng sebelum tidur untukku dan menyajikan masakan lezat dan istimewa untuk keluarga. Aku kangen itu, Ayah...,” Sang ayah hanya diam. Tidak tahu kata apa yang harus dikatakan. Sudah sedih hatinya mendengarkan keluh kesah anak gadisnya yang manis dan haus kasih sayang ini.
“Sudah kamu jangan menangis, Sayang. Kamu harus kuat dan tangguh menghadapi semuanya. Kalau kamu terus-terusan menangis dan bersedih kamu sama saja mengecewakan hati ayah. Jangan menangis ya...,” kata sang ayah menghapus air mata anaknya yang menetes. Marissa hanya tersenyum.
“Oh, ya, Sayang. Ini ayah pamit, ya. Besok ayah akan berangkat ke amerika. Ayah akan bertugas disana selama dua tahun,” ujar sang ayah.
“Dua tahun? Lama sekali,” keluh Marissa.
“Nanti ayah pasti akan secepatnya pulang, kok. Tenang saja. Kamu kan juga bisa kontak-kontakan dengan ayah selama ayah disana,” jelas ayah.
“Tapi ayah tidak bakal melupakan Marissa, kan?”
“Ya, tidak, dong. Kamu kan putri ayah yang paling cantik dan selalu ayah sayangi. Masa ayah lupa sama anak cantiknya ini,”
“Apa-apaan ini? Marissa masuk kamar!” Tiba-tiba, datanglah mama dengan wajah yang galak dan tatapan tajam.
“Tapi, ma...Marissa masih pengen sama ayah!”
“Tidak. Pokoknya masuk! Kamu jangan bandel, nurut apa kata mama!” tegas mama.
“Apa-apaan sih kamu membentak Marissa? Apa salahnya dia ingin bertemu denganku sebelum hari keberangkatanku?” ujar ayah marah.
“Sudahlah. Kamu tidak usah mencari gara-gara denganku. Apa kamu lupa bahwa hak asuh anak itu jatuhnya ke tanganku?” kata mama.
“Iya, Aku tahu. Namun, kamu tidak pantas membentak Marissa seperti itu. Marissa itu kan, anak kita. Kamu ini bagaimana, sih. Bukan seorang ibu yang baik,”
“Diamlah!”
“Kamu yang diam...,”
Marissa kembali melihat pertengkaran pahit itu. Karena tidak kuat, Marissa segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya dengan rasa sedih dan menusuk yang amat sangat.
Esok paginya, Marissa baru terbangun dengan wajahnya yang sembab karena air matanya yang terus mengalir sedari tadi malam. Segera ia menyingkirkan selimutnya dan beranjak membuka jendela kamarnya.
“Selamat pagi, Non Marissa!” sapa Bi Ningsih hangat yang tiba-tiba membuka pintu kamar Marissa.
“Pagi, Bi,” jawab Marissa singkat.
“Maaf ya, bibi masuk tanpa permisi. Habisnya, dari tadi malam Non Marissa belum makan. Jadinya bibi buru-buru masuk kesini untuk mengantar makanan,” kata Bi Ningsih sembari meletakkan nampan berisi makanan lezat di meja dekat lampu tidur.
“Terima kasih ya, Bi. Andai mama seperti bibi,” ujar Marissa dengan raut wajah sedih. Bi Ningsih kemudian mendekat ke arah Marissa lalu memeluknya.
“Non Marissa yang sabar, ya! Bibi yakin mama pasti akan secepatnya sadar dan kembali lagi seperti dulu. Mama itu hanya butuh waktu untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Pokoknya sekarang ini Non Marissa yang sabar aja dan tegar menghadapi semua ini,” Marissa tak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum dan senang memiliki seorang bibi yang sangat pengertian kepadanya.
Pukul sembilan pagi tepat. Segera Marissa menyuruh sopirnya berjalan mengemudikan mobil menuju bandara. Ia ingin menyusul ayahnya ke bandara dan melihat kembali ayahnya untuk terakhir kalinya.
“Pak! Cepat jalan ke bandara. Saya ingin menyusul ayah saya,”
“Baik, Non,” ujar sopirnya. Hanya lima menit waktu yang ditempuh menuju bandara. Akhirnya, ia pun tiba di bandara.
“Bapak pulang aja ke rumah. Nanti pulangnya saya tinggal naik taksi,” ujar Marissa kepada sopirnya.
“Apakah tidak saya tunggui saja, Non?”
“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri,” Sang sopir kemudian menuruti kata Marissa dan meninggalkannya. Marissa segera bergegas menuju ruang waiting room, tetapi sebelum masuk dicegat oleh petugas.
“Maaf, Adik ini mau kemana? Bisa saya lihat tiketnya?” tanya petugas itu.
“Aduh, Pak. Saya bukan penumpang. Saya hanya ingin menyusul ayah saya. Ayah saya penerbangan ke amerika,” jelas Marissa dengan gelisah.
“Oh, tidak bisa. Harus punya tiket dulu baru boleh masuk. Ayah adik penerbangan ke amerika bagian mana? Penerbangan ke amerika semuanya sudah berangkat kecuali tujuan Los Angeles, statusnya masih check-in,” Marissa bertambah bingung. Ia lupa menanyakan kepada ayahnya penerbangan amerika bagian mana.
“Aduh, saya tidak tahu, Pak, tapi, saya ingin masuk ke dalam. Siapa tahu ada ayah saya di dalam,” gerutu Marissa.
“Tidak bisa! Harus punya tiket dulu baru boleh masuk. Adik jangan nekat nanti saya laporkan ke pihak keamanan, lho,” ancam petugas itu.
“Tapi, saya mau masuk, Pak!”
“Tidak bisa! Harus punya tiket dulu!”
“Saya mohon, Pak. Izinkan saya masuk,”
“Tidak! Saya tidak mengizinkan,”
Akhirnya, Marissa mengalah. Dengan langkah lemas ia mulai meninggalkan sang petugas. Ia duduk di sekitar pinggiran bandara sembari menangis sendu menyebut nama ayahnya. Namun, tidak ada yang peduli. Semua sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Sungguh tragis sekaligus menyedihkan bila dirasakan, namun, Marissa tetap berusaha kuat melewatinya.
Setelah puas menangis, Marissa segera berdiri dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. Hatinya kini tegar menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah pergi ke amerika dan mereka akan berjumpa lagi dua tahun mendatang. Waktu yang cukup lama, namun ini sudah menjadi titik keputusan ayahnya. Perlahan, Marissa mulai meninggalkan bandara dan berjalan menuju arah yang tidak dikenalnya. Hari ini, ia memutuskan untuk tidak kembali ke rumahnya karena ia ingin mencari suasana baru, sebuah suasana yang mungkin saja mampu menenangkan gejolak jiwanya dan hatinya yang kini lagi rapuh.
Satu jam sudah ia berjalan menuju arah ke sebuah desa dan lingkungan yang terpencil yang ia dapatkan hanyalah sebuah sia-sia. Ia memutuskan untuk pulang namun tiba-tiba...
Lamin talungsur la nama rantaunya, nyadi susuran jaman ka jaman...,
“Indah sekali suaranya! Siapa gerangan yang sedang menyanyi itu?” Marissa merasa terkagum. Segera ia mencari asal suara itu. Lalu, ia kemudian menemukan sesosok gadis berambut panjang sedang menyanyi di atas rumput persawahan. Pelan-pelan, Marissa mendekatinya kemudian dengan tepat ia duduk di samping gadis itu hingga gadis itu selesai menyanyi.
“Wow, bagus sekali suaramu!” puji Marissa kepada gadis itu.
“Terima kasih. Maaf kula siapa?” tanya gadis itu tersenyum.
“Kula?” Marissa bingung.
“Maksudku, Siapa kamu?” tanya gadis itu lagi.
“Oh, perkenalkan namaku Marissa. Penggemar berat suaramu yang begitu merdu,”
“Aku Rindu. Terima kasih atas pujiannya. Aku senang sekali,” ujar gadis bernama Rindu itu sembari tersenyum dengan ramahnya.
“Apa nama lagu yang barusan kamu bawakan?” tanya Marissa penasaran.
“Lamin talungsur. Lagu khas dari Kaltim. Oh, ya, kamu turis?” tanya Rindu.
“Bukan. Aku orang Kaltim asli lebih tepatnya dari Balikpapan,” jelas Marissa.
“Masa kamu tidak tahu lagu Lamin Talungsur ini? Lagu ini sangat terkenal lho di Kaltim,”
“Oh, ya? Aku tidak tahu. Aku memang sedikit kurang memahami budaya yang ada di Kaltim ini,” cengir Marissa.
“Tidak apa-apa. Kamu pasti orang kota. Aku memahami orang kota yang tidak tahu banyak dengan budaya Kaltim,” ujar Rindu. Marissa hanya tersenyum. Sesaat Marissa baru menyadari ada keganjalan dengan Rindu. Sedari tadi, Rindu tidak menatapnya. Pandangannya lurus ke depan. Apakah Rindu seorang tunanetra?
“Maaf jika sedikit menyinggung, Apakah kamu seorang tunanetra?” tanya Marissa hati-hati.
“Iya. Aku seorang tunanetra,” jawab Rindu pelan.
“Maaf ya jika pertanyaanku sedikit membuatmu sakit hati,”
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Lagi pula, aku memang seorang tunanetra, kan? Kalau itu fakta buat apa aku sakit hati?” ucap Rindu. Marissa terdiam sesaat. Dalam hatinya ia berkata, ‘Tangguh sekali gadis ini! Walau seorang tunanetra ia tak malu dengan kekurangannya itu,’
“Hei, Kenapa diam? Mau tidak ke rumahku? Aku ingin memperkenalkan kepadamu tentang salah satu budaya yang ada di Kaltim ini,” kata Rindu membuyarkan suasana kediaman.
“Oh, boleh sekali! Kelihatannya sangat seru,” Dengan langkah penasaran, Marissa mengikuti langkah Rindu menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, ia sangat menikmati udara siang begitu hangat dan tidak terlalu terik dan padi yang tampak tumbuh di area persawahan ini. Sesampainya Marissa di rumah Rindu yang begitu sederhana, Marissa tampak terkesima. Ia melihat tumpukan batik tulis khas Kaltim yang tampak tersusun rapi di sebuah rak dengan wangi batik yang begitu khas.
“Wah, batik tulis ini indah sekali! Kamu yang membuatnya?” tanya Marissa terheran-heran.
“Iya, aku yang membuatnya. Batik tulis ini selalu kujual setiap harinya guna sebagai tambahan SPP sekolahku,” jawab Marissa.
“Bagaimana kalau kamu mengajariku cara membuat batik tulis?”
“Baiklah,” Rindu mengiyakan.
“Langkah pertama adalah membuat desain batik diatas kain mori dengan pensil atau biasa disebut molani,”
“Kemudian langkah keduanya  adalah menggunakan canting berisi lilin cair untuk melapisi motif yang diinginkan. Tujuannya agar saat pencelupan bahan ke dalam larutan pewarna bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena. Setelah cukup kering, celupkan kain ke dalam larutan pewarna,”
“Kemudian langkah terakhir atau biasa disebut nglorot dimana kain yang telah berubah warna direbus dengan air panas. Tujuannya untuk menghilangkan lapisan lilin sehingga motif yang digambarkan dapat terlihat jelas,” urai Rindu secara perlahan.
Marissa mengikutinya secara perlahan. Walaupun pertamanya sedikit belepotan, namun, hasil akhirnya jauh lebih bagus dari sebelumnya.
“Akhirnya, selesai juga! Bagaimana menurutmu?” tanya Marissa.
“Bagus dan tampak menarik. Hanya kurang rapi saja,” jawab Rindu.
“Bolehkah aku membawa batik tulis buatanmu ini? Aku ingin tunjukkan ini kepada orangtuaku,” pinta Marissa.
“Boleh. Kamu dapat mengambilnya tiga. Simpanlah ini semua. Anggaplah kenang-kenangan dariku,”
“Kamu hebat ya, Rindu. Sudah dapat menyayanyi dapat membuat batik tulis lagi! Aku kagum padamu. Zaman sekarang, boro-boro anak gadis menyanyi ataupun membatik. Mereka pasti akan lebih suka berfoya-foya,”
“Aku memang sangat mencintai budaya bangsaku, khususnya budaya Kaltim, tanah kelahiranku. Aku takut suatu saat nanti warisan budayaku diambil negara lain maka dari itu aku harus menjaganya dengan baik. Begitu juga dengan masyarakat lain, termasuk kamu. Kamu juga harus pandai menjaga warisan budayamu agar tidak diambil alih oleh bangsa lain,” jelas Rindu.
“Aku memang bukanlah anak normal seperti halnya kamu dan lainnya. Aku adalah seorang tunanetra, tidak bisa melihat keindahan ciptaan Tuhan. Namun, aku tidak pernah berkecil hati. Walaupun aku seorang tunanetra, aku mampu menujukkan kecintaanku terhadap bangsaku sendiri dan menjaganya dengan baik,” lanjut Rindu. Marissa memandang Rindu dengan tatapan lekat. Ia merasa sosok Rindu adalah sosok yang kuat dan tangguh serta sangat peduli dengan kecintaan terhadap budaya. Berbeda halnya dengan dirinya yang gampang putus asa dan selalu menangisi sebuah kenyataan yang ada.
“Aku bangga padamu. Kamu hebat sekali! Aku bersyukur Tuhan mengizinkanku bertemu denganmu,”
“Terima kasih atas pujianmu, Marissa. Kamu juga hebat. Kamu normal, kamu lebih dariku. Kamu bisa tunjukkan bakatmu. Jangan pernah menyerah dan tetap semangat,” kata Rindu memberi semangat.
“Sebaiknya kamu pulang. Hari sudah semakin sore. Orangtuamu pasti cemas menunggumu,” ujar Rindu. Marissa kemudian mengangguk.
“Aku pulang dulu, Rindu. Suatu saat nanti kita pasti bertemu lagi,”
“Iya. Sampaikan salamku untuk orangtuamu,” Mereka pun kemudian berpisah.
Selama perjalanan menuju rumah, Marissa terus tersenyum. Ia sangat bahagia telah bertemu dengan sosok Marissa yang begitu kuat dan tangguh. Ia berjanji akan lebih semangat lagi menjalani hidup dan menujukkan bakatnya demi mewujudkan impian sang mama.
“Dari mana saja kamu? Mama sibuk mencarimu!” tanya mama kasar sesampainya Marissa dirumahnya.
“Maafkan Marissa, ma. Marissa pergi tanpa izin dari mama. Tadi pagi, Marissa pergi menyusul ayah ke bandara. Namun, petugas tidak mengizinkan Marissa masuk. Setelah itu, Marissa bertemu dengan sesosok gadis tunanetra. Namanya Rindu. Dia hebat, ma. Dia bisa membuat batik tulis dengan bagus. Suaranya merdu. Dia mengajarkan kepada Marissa arti ketidak putus-asaan dan selalu semangat dalam menjalani hidup,” jelas Marissa dengan kepala tertunduk. Mamanya melihat Marissa dengan lekat. Matanya berkaca-kaca. Kemudian, mama pun memeluk tubuh anak gadisnya itu.
“Maafkan mama ya, sayang. Semenjak perceraian itu, mama menjadi kasar dan tidak peduli kepadamu. Mama selalu memaksamu menjadi anak the best. Mama lakukan ini karena mama tidak ingin masa depanmu rusak akibat perceraian yang membuatmu pedih dan terus-terusan menangis. Maafkan mama karena mama terlalu memaksamu. Mama sayang kamu,” ujar sang mama. Seketika itu, air mata Marissa meleleh.
“Iya, ma, tapi, Marissa ingin suatu hari nanti dapat membahagiakan mama dengan prestasi yang Marissa raih,” ujar Marissa. Mamanya hanya mengangguk.
Esok harinya, tepatnya pada Hari Senin, ketika Marissa baru saja memasuki halaman sekolah, dilihatnya sebuah karton berukuran lebar tertempel rapi di mading sekolah bertuliskan: Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan. Karena tertarik, Marissa pun segera menghubungi Bu Wanda, selaku ketua koordinator.
“Permisi, Bu. Saya Marissa dari kelas tujuh. Saya ingin mendaftar untuk seleksi Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan itu,” ujar Marissa sopan.
“Baiklah. Ibu akan catat nama kamu. Istirahat nanti ya, seleksinya. Jangan sampai ketinggalan,” Marissa hanya mengangguk kemudian bergegas menuju kelasnya.
Pada saat bel istirahat, Marissa segera menuju aula sekolah sebagai tempat seleksi. Dilihatnya banyak sekali anak-anak satu sekolahnya yang mengikuti seleksi ini.
“Marissa, silahkan maju!” panggil Bu Wanda.
“Baiklah, Disini saya akan menyanyikan lagu Lamin Talungsur. Lagu khas berbahasa kutai yang sangat terkenal di Kaltim,” urai Marissa sopan. Bu Wanda hanya tersenyum.
“Basurung ke ulu rantau tujuan, Basunsung surut mangiring pasang, Rantau tujuan lamin talungsur adidindang, Kissarini kunun jadi susuran,”
“Lamin talungsur la nama rantaunya, Nyadi susuran jaman ka jaman, Adalah kunun ini kissanya adidindang, Si Ayus mangail baulli kali,” Bu Wanda tersenyum lebar. Ternyata, suara Marissa merdu sekali. Apalagi nada lagu lamin talungsur ini sangat cocok dengan karakter vokalnya.
“Suara kamu merdu sekali!” puji Bu Wanda usai Marissa menyanyi. Marissa hanya tersenyum lugu.
“Baiklah. Ibu akan rundingkan seleksi ini dengan dewan guru lainnya untuk menentukan siapa yang berhak mewakili sekolah,”
Sekitar sembilan puluh menit kemudian, akhirnya Bu Wanda selesai merundingkan hasil seleksi dengan dewan guru lainnya.
“Baiklah. Sekarang adalah penentuan dan yang akan mewakilkan sekolah untuk Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan ini adalah...Marissa Rachmasari!!!” Marissa tersenyum bangga karena ia terpilih mewakilkan sekolah dalam ajang tersebut. Seluruh teman-temannya bertepuk tangan. Ia tersenyum dan akan berusaha untuk berlatih semaksimal mungkin untuk ajang tersebut.
Sejak saat itu Marissa berlatih sangat keras karena lomba itu akan berlangsung dua hari mendatang. Ia latihan tak kenal waktu. Walaupun lelah ia tetap berlatih. Ia ingin menjadi pemenangnya. Membawa harum nama sekolahnya sekaligus membahagiakan mamanya.
Hari yang ditunggu-tunggu Marissa akhirnya tiba. Lomba akan berlangsung hari ini. Ia segera bersiap menuju tempat pelaksanaan lomba tersebut bersama mamanya. Mamanya datang untuknya demi memberi semangat kepadanya. Marissa senang sekali! Sesampainya disana, ia segera duduk di kursi peserta dan mendapat nomor urut 24 untuk tampil. Cukup lama dan ia sejak tadi sedikit nerveous, namun dukungan dari guru, teman sekolahnya, terutama mamanya sedikit menenangkan hatinya.
“Sekarang, Giliran peserta dengan nomor urut 24!” kata pembawa acara yang suaranya terdengar keras di megafon. Marissa pun kemudian maju. Ia mulai bernyanyi.
“Basurung ke ulu rantau tujuan, Basunsung surut mangiring pasang, Rantau tujuan lamin talungsur adidindang, Kissarini kunun jadi susuran,” Seluruh penonton membelalak mendengar suaranya yang bagus dan begitu merdu.
“Indah sekali suara Marissa! Aku yakin dia pemenangnya!” ujar salah satu teman sekolah Marissa disetujui dengan anak-anak lainnya. Selesai bernyanyi, ia menghormat lalu kemudian turun panggung.
“Bagus sekali suaramu, Sayang!” komentar mama seraya memeluk Marissa dengan erat. Marissa hanya tersenyum senang. Lalu, beberapa menit kemudian, pembawa acara berkata bahwa sekarang saatnya penentuan kemenangan.
“Sekarang adalah penentuan kemenangan. Menurut polling dari dewan juri yang berhak memenangkan ajang ini adalah...Wardalina Althansa!” Marissa kaget begitu juga dengan teman-temannya. Seluruh penonton bertepuk tangan. Sesosok gadis bernama Wardalina itu tersenyum senang seraya dipakaian mahkota sebagai pemenang. Marissa yang melihatnya hanya bisa tersenyum sedih.
Usai ajang Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan, Marissa pun pulang bersama mamanya dengan perasaan sedih.
“Ma, Maafkan Marissa, ya! Ternyata, Marissa kalah. Marissa pikir, Marissa yang bakal menang,” ujar Marissa sedih saat di dalam mobil. Mamanya melihatnya lalu tersenyum seraya menyentuh pipi Marissa.
“Tidak apa-apa, Sayang. Walaupun kamu kalah, Mama tetap bangga punya anak sepertimu. Bagi mama kamu yang terbaik daripada pemenang yang tadi. Kamu hebat, Sayang! Mama sayang sama kamu!” Mamanya kemudian memeluknya dengan erat. Marissa tersenyum penuh bahagia. Inilah pelukan kasih sayang dari mamanya yang sangat diidam-idamkan olehnya semenjak perceraian ayah dan mamanya yang nyaris membuat mamanya seolah melupakannya. Namun, kini mamanya telah kembali. Kembali menyayanginya dan mencintai dirinya dengan tulus dan penuh kasih sayang. Marissa menatap langit-langit mobilnya. Kemudian, lubuk hatinya berkata, ‘Terima kasih, Rindu! Senandung merdumu akan selalu teringat olehku. Ketangguhanmu juga akan selalu terekam dalam setiap langkah hidupku. Terima kasih telah menyemangatiku. Aku bersyukur Tuhan memberiku izin bertemu denganmu. Aku berharap suatu saat nanti aku dapat bertemu dengan sosokmu lagi. Jangan lupakan aku dan tetaplah menjadi penyinar semangat dalam hidupku!’