Biarkan mimpi itu terus tergenggam
kuat dalam diriku. Biarkan jiwa tak mudah menyerah menempel lekat dalam desir
darah nadiku. Biarkan semua kekuatan itu menyatu menjadi sebuah mimpi yang
nyata dan akan terwujud suatu saat nanti. –Sindai, Sang
Penari.
“Alena
Putri Tamara.” Bu Mayang, wali kelas 9-1 memanggil nama seorang muridnya dari
balik meja gurunya dengan suara tegas. Sesosok gadis bertubuh tinggi semampai
kemudian berjalan ke arahnya dengan raut wajah muram seolah sudah tahu apa yang
ingin dikatakan wali kelasnya itu.
“Ini
rapor kamu. Hasilnya...sudah bisa kamu bayangkan, kan?” Gurunya menatap gadis
itu sambil menghembus napas berat. Gadis itu hanya diam sambil mengangguk
pendek.
“Alena,
tolong kamu katakan pada ibu apa yang membuat kamu jadi susah berkonsentrasi.
Lihat nilai-nilaimu. Semuanya turun drastis.” Alena, nama gadis itu kemudian
menatap nilai rapornya semester ini dengan wajah kaku seperti es batu.
Tenggorokannya terasa tercekat sesuatu.
“Saya...akhir-akhir
ini memang susah berkonsenstrasi, Bu. Mungkin karena manajemen waktu saya jelek
sehingga saya tidak bisa mengatur kapan saya harus belajar giat kapan melakukan
aktivitas selain itu.” bohongnya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ada
masalah lain yang membuatnya jadi begini. Sulit berkonsentrasi dan nilainya
amblas mendadak.
“Alena,
kamu sudah kelas sembilan. Tidak sampai setahun lagi, kamu akan menghadapi yang
namanya UAN untuk menentukan kelulusanmu. Saya mohon sama kamu, prioritaskan
jadwal belajar kamu. Kurangilah aktivitas-aktivitas yang kurang penting. Kamu
bisa melakukannya, kan?” Alena diam saja.
“Ibu
benar-benar nggak ngerti sama diri kamu sekarang. Nilai ulangan yang selalu
turun, konsentrasi kemana-mana, beda sekali dengan dulu. Selalu masuk tiga
besar dan nilai ulangan selalu bagus. Diri kamu yang dulu kemana, Alena?” Guru
bertubuh mungil itu menatapnya dengan cemas. Kacamatanya merosot sampai
hidungnya.
“Maaf,
Bu. Saya akan berusaha memperbaikinya lagi di semester baru nanti agar saya
bisa mendapatkan nilai UAN yang maksimal.” kata Alena.
“Kamu
janji?”
“Saya
tidak bisa janji, Bu, tapi saya akan berusaha menunjukkan yang terbaik.” Alena
bergegas menuju bangkunya sambil menenteng rapotnya. Teman-teman sekelasnya
menatap ke arahnya dengan pandangan mencemooh.
“Masa
yang juara kelas terus dari kelas tujuh nilainya banyak yang merah, sih?”
“Merasa
sok otak Einstein, jadinya begitu. Huh!”
“Orang
pintar sih banyak, tapi yang bisa mempertahankan kepintarannya cuma sedikit!”
Alena yang mendengar itu semua merasa sedih dan terpedaya. Ia terpaku diatas
bangkunya sambil menatap rapor hitamnya yang terlihat tajam di hadapannya.
Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tak jatuh, namun pandangannya
lama-lama semakin kabur dan air matanya perlahan menetes.
‘Maaf ya, Papa, Mama. Aku tidak
bisa memberikan yang terbaik untuk kalian.’
***
Alena
membanting pintu kamarnya dengan keras setibanya disana. Tasnya dilempar begitu
saja. Ia kemudian menangis tertelungkup di balik bantal tidurnya.
‘Aku ingin bebas. Aku tidak ingin
terus seperti ini. Aku ingin leluasa mengarungi dunia. Bisakah hentikan semua
paksaan tolol ini?’ gumamnya dengan hati yang berkelit. Ia
kemudian duduk bersimpuh sambil memeluk lututnya. Dipandanginya dinding
kamarnya yang penuh dengan foto-foto hasil jepretannya. Semuanya tampak
natural, lembut, dan mengandung nilai estetika yang bagus. Alena dulu pernah
mengutarakan cita-citanya kepada orang tuanya ingin menjadi seorang fotografer.
Berkeliling dunia, memotret objek yang menarik, dan ingin punya nama besar.
Sayangnya, orang tuanya menganggapnya sia-sia. Alena ingat betul kata papanya.
“Terlalu
sayang otakmu untuk sekadar jadi fotografer. Tidak bisa bikin kaya.” Sementara
mamanya, selalu memaksanya menjadi seorang dokter, cita-cita yang sangat
mustahil baginya. Bermimpi memakai jas putih saja tidak pernah terpikir
olehnya, apalagi harus membersihkan darah dan melihat mayat? Lebih baik
mengunyah lem karet. Orang tuanya adalah seorang yang sangat cerdas dan punya
nama besar di bidang sains. Papanya seorang teknisi mesin dan ibunya seorang
dokter bedah. Namun, tak satu pun itu
semua melekat dalam diri Alena. Ia lebih suka dengan seni. Fotografi yang
sangat dicintainya. Namun, hidup di keluarga seperti ini membuat keinginannya
tidak terpenuhi. Orang tuanya lebih menginginkannya menjadi dokter dan punya
penghasilan yang tinggi. Tidak seperti fotografer yang kerjanya tidak bisa sewaktu-waktu.
“Aku
sudah dewasa Pa, Ma. Izinkan aku untuk menentukan pilihan cita-citaku dan
mengasah kemampuanku.” Orang tuanya menentang keras kala Alena berkata seperti
itu. Alena hanya bisa mengunci bibirnya. Saat ini yang dirasakannya hanya rasa
sedih dan terkekang. Ia sangat haus. Haus rasa kebebasan dan ingin menjadi
dirinya sendiri.
***
“Mama
benar-benar tidak habis pikir kenapa nilai kamu bisa turun drastis seperti
ini.” Itulah ungkapan pertama yang diucapkan mamanya ketika melihat rapornya.
“Maaf.”
Mama menutup rapot itu dengan kasar.
“Kenapa
sih kamu bisa seperti ini? Kamu melupakan impianmu menjadi dokter?” tanya mama
keras.
“Sudah
kubilang aku tidak ingin jadi dokter, Ma. Aku inginnya jadi fotografer!”
berontak Alena.
“Alena,
itu cita-cita yang konyol. Tidak bisa membuat kamu kaya. Berhentilah berkhayal
jika suatu hari nanti ada yang ingin membeli fotomu dan menggajimu seratus
juta.”
“Ma,
itu cita-citaku. Kenapa mama selalu melarangku? Aku ingin jadi fotografer bukan
karena untuk bisa kaya tapi aku bahagia menjalaninya. Mama mungkin tidak mengerti
bagaimana rasanya, tapi aku tahu rasanya itu seperti apa.” Mamanya memandang
sinis.
“Papa
barusan telepon Mama. Dia sangat kecewa padamu.”
“Aku
juga sangat kecewa sama papa dan mama. Karena kalian tidak pernah mau mengerti
dan mendukung apa yang aku inginkan.” Alena langsung berlari menuju kamarnya
tanpa mempedulikan mamanya yang mengomel dari luar kamar. Hatinya saat ini
terasa sakit sekali. Sakit yang lebih sakit dari yang dirasakan batinnya. Alena
tahu, saat-saat ini akan selalu hadir tak terelakkan untuknya.
***
Pintunya
berderit pelan ketika ia baru saja memasukkan batteray charger kameranya ke dalam lemari.
“Bi
Ningsih?” Alena menyambut pengasuhnya itu dengan ringan.
“Non,
liburan tidak jalan?” tanya Bi Ningsih sambil membuka jendela kamar Alena.
Alena menggeleng.
“Memang
mau jalan kemana, Bi? Di Bontang tidak ada yang menarik untuk difoto. Semua
tempat sudah pernah aku kunjungi.” jawab Alena.
“Coba
ke acara Erau Pelas Benua di Guntung deh, Non. Acara adatnya Suku Dayak. Disana
banyak atraksi dan tradisi Suku Dayak. Keren deh.”
“Keren?
Bibi yakin?” Alena sedikit tak yakin dengan acara daerah semacam itu.
“Iya,
Bibi sudah pernah lihat beberapa kali tahun kemarin. Disana kita bisa lebih
bisa menghargai budaya daerah kita sendiri lho, Non. Kita juga bisa belajar
banyak tentang tradisi-tradisi Suku Dayak ataupun Suku Kutai.” Bibinya
menatapnya dengan sinar mata yang meyakinkan. Alena melihat bibinya, lalu
mengangguk setengah yakin.
“Boleh
deh, Bi. Kapan acaranya?”
“Besok
hari pembukannya. Pasti rame deh jadi Non Alena bisa mengambil objek foto yang
banyak. Non Alena masih cinta sama fotografi, kan?” Alena mengangguk mantap. Bi
Ningsih segera beranjak dari ranjang Alena sambil membisikkan sesuatu di telinga
Alena.
“Kalau
yang namanya cinta terhadap sesuatu itu harus terus dicintai, Non. Meski
kondisinya tidak seperti yang Non Alena harapkan. Tapi percaya deh, Non suatu
saat sesuatu yang Non cintai itu bisa berbuah manis dan membuat Non menjadi
bahagia kemudian menjadi orang yang dicintai semua orang.”
***
Alena
bergegas menemui Pak Marwan, sopirnya tanpa memedulikan rambutnya yang masih menjuntai
basah sehabis keramas.
“Ayo,
Pak antar saya ke Guntung. Nanti saya terlambat.” Pak Marwan yang sedang
meneguk kopinya sedikit tersedak.
“Ini
masih pagi, Non. Non memangnya sudah sarapan?”
“Nggak
penting ah, Pak sarapan. Nanti saya telat lho, Pak memotret acara pertamanya.”
Pak Marwan mengangguk lalu segera berlari ke garasi, memanaskan mobil. Tanpa
basa-basi Alena langsung masuk ke dalam mobil dan mobil pun mulai melaju,
meninggalkan kawasan kompleks perumahannya yang elite itu.
***
“Non,
sudah sampai.” Alena segera terjaga dari tidurnya dan membuka seatbelt-nya. Guntung rupanya sudah
dipenuhi orang dan tampaknya acara pertama sudah dimulai. Alena segera
mengalungkan kamera Nikon miliknya dan berjalan menuju pendopo. Atraksi pertama
yaitu Tari Jepen yang merupakan tarian penyambutan upacara Erau Pelas Benua.
Acara ini disusul dengan penaburan bunga kepada tamu yang tujuannya agar
mendapat keberkahan dan keselamatan selama kunjungan dalam rangkaian acara Erau
Pelas Benua ini. Saat melihat penari yang sedang menarikan Tarian Jepen di atas
pendopo dengan gerakan yang luwes, Alena begitu terkesiap melihat seorang penari
bertangan buntung diatas panggung yang benar-benar menakjubkan. Tariannya
begitu lemah gemulai dan lebih luwes dibanding penari lain. Alena segera
mendekatkan diri ke dekat panggung lalu memotret penari itu. Ekspresi gadis itu
benar-benar sangat lembut dan tenang. Alena berencana mengobrol dengan gadis
itu usai tarian tersebut selesai. Namun, sebelum sempat impiannya terwujud,
badan mungilnya mulai terombang-ambing oleh banyaknya wisatawan lokal maupun
mancanegara yang hadir. Kepalanya terasa pening, sepertinya penyakit anemianya
akan kambuh. Matanya kembali berkunang-kunang dan tak lama ia terjatuh dan tak
ingat apa-apa.
***
“Hai,
kamu tidak apa-apa?” Suara lembut mulai merambati telinganya. Aroma dupa yang
begitu menyengat membuat kelopak matanya terbuka.
“Kamu
siapa?” tanya Alena dengan suara yang terdengar berat.
“Aku
Sindai.” jawab gadis itu singkat. Alena celingukan. Dia sedang berada di sebuah
rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan tampak dipenuhi dengan berbagai
macam ornamen khas Suku Dayak.
“Kamu
tadi pingsan. Lalu, tetua adatku membawamu kesini.” Gadis itu kemudian
menyerahkan segelas air putih kepada Alena. Mendadak Alena merasa familier
dengan wajah gadis itu. Astaga, itu penari bertangan buntung itu!
“Kamu
tadi yang menari saat acara penyambutan, kan?” Gadis itu mengangguk sekilas.
“Gerakanmu
benar-benar sangat luwes dan indah. Menurutku, kamu tadi menari lebih baik dari
penari lainnya.”
“Ah,
tidak. Kamu terlalu berlebihan memujiku.” Gadis itu kemudian beranjak dan
berjalan menuju pekarangan rumahnya yang sederhana.
“Boleh
mengobrol sebentar?”
“Niatku
memang ingin mengajaku mengobrol sejak tadi.” Sindai, namanya mempersilahkan
Alena duduk di sebelahnya.
“Kamu
siapa?”
“Aku
Alena.”
“Kalau
boleh kusarankan kamu cocok sekali menjadi seorang penari profesional. Kamu
punya bakat yang cemerlang, pasti kalau sering dilatih semuanya bisa menjadi
nyata.”
“Impianku
sedari dulu memang ingin menjadi seorang penari. Ingin menunjukkan kepada dunia
bahwa aku walau cacat tapi tetap bisa menari. Lalu, aku ingin mengangkat
budayaku agar bisa dikenal semua orang. Anak-anak muda zaman sekarang terlalu
terpengaruh dengan modernisasi. Aku sangat takut jika mereka terlalu
melupakannya, warisan budaya kita akan hilang. Kita bukan lagi negara
berbudaya. Kita bukan lagi siapa-siapa jika warisan budaya kita hilang.” Alena
terpengarah. Gadis ini benar-benar hebat. Di zaman sekarang sangat sulit
rasanya menemukan gadis yang masih menjaga warisan budaya.
“Orang
tua kamu selalu mendukungmu?”
“Pasti.
Mereka membebaskanku memilih jalanku sendiri. Mereka menyuruhku untuk terus
mengasah bakatku walau dengan kondisi fisik tak sempurna. Aku harus percaya
dengan mimpiku sendiri. Karena bagaimana pun, masa depanku ada dalam mimpi dan
cita-citaku sekarang.” kata Sindai lalu mengelap keringat di dahinya.
“Tapi...,”
Alena tiba-tiba teringat dengan orang tuanya.
“Menurutmu
bagaimana dengan orang tua yang memaksakan kehendaknya untuk anaknya? Misalnya
memaksa anaknya menjadi dokter.”
“Aku
juga heran banyak orang tua memaksakan anaknya memilih jalan yang tidak
dicintai anaknya. Menyuruh anaknya menjadi ini dan itu tanpa mempertanyakan
anaknya. Menurutku itu tipikal orang tua otoriter. Aku tahu maksud mereka pasti
ingin anaknya punya masa depan yang sukses dan lebih baik, tapi bukan begitu
caranya.” Alena melihat raut wajah tak suka dari bola mata Sindai.
“Aku
terlahir dari keluarga seperti itu, menurutmu apa yang harus aku lakukan?”
“Jangan
berhenti mengasah bakatmu. Tetaplah cinta dengan hobi yang kamu sukai. Kamu
harus membuktikan bahwa suatu hari nanti kamu bisa sukses dengan bakat yang
kamu miliki. Mereka butuh pembuktian. Itu sudah cukup, kok.” Alena mengangguk mengerti.
“Ingat
kata-kata ini. Biarkan mimpi itu terus tergenggam kuat dalam diriku. Biarkan
jiwa tak mudah menyerah menempel lekat dalam desir darah nadiku. Biarkan semua
kekuatan itu menyatu menjadi sebuah mimpi yang nyata dan akan terwujud suatu
saat nanti.” Sindai kemudian merangkul Alena dengan bersahaja. Tak terasa,
fajar mulai tenggelam di ufuk barat. Kini cerah berganti dengan gelap dan suara
petikan sampeq—alat musik daerah Suku
Dayak mulai terdengar hening. Alena kemudian berpamitan kepada Sindai dan
mengucapkan terima kasih.
“Jangan
menyerah, Alena. Kamu pasti bisa menunjukkan kepada orang tuamu kalau kamu bisa
menjadi anak kebanggan mereka.” Alena tersenyum lalu segera menyetop angkot
yang melintas. Hapenya lowbatt jadi
dia tidak bisa menghubungi Pak Marwan, sopirnya. Lebih baik menyetop angkot
agar bisa mengantarnya sampai ke rumah.
Suuung...Angin
yang begitu kencang membuat selembar kertas lusuh tertempel di wajah Alena.
IKUTILAH LOMBA FOTOGRAFER
SE-INDONESIA
KHUSUS PELAJAR SMP
TEMA : LOKALITAS BUDAYA MASING-MASING
DAERAH
DEADLINE : 3 MEI 2013
Kirimkan ke alamat: Jln. Kapt.
Pierre Tendean, Mampang, Jakarta Selatan. Kode Pos: 45564. Jangan lupa sertakan
biodata dan nomor telepon yang bisa dihubungi!
Brilian!
Alena tidak memanfaatkan kesempatan ini sia-sia. Ia akan segera mengirimkan
beberapa hasil fotonya dan ingin membuktikan kalau ia bisa mewujudkan impiannya
menjadi seorang fotografer dan membuat bangga orang tuanya.
***
Jam
menunjukkan pukul 07. 15 lalu setelahnya terdengar suara gedubrak dari ranjang
tidurnya. Semalam, orang tuanya menceramahinya karena ia pulang terlambat. Pagi
ini ia pun bangun terlambat. Jika biasanya ia selalu bangun pukul 06. 00,
sekarang baru bangun pukul 07. 15. Ia segera menyalakan komputer lalu akan
mencetak beberapa fotonya yang sudah dimasukkan ke komputer tadi malam. Ia
memilih beberapa foto yang menurutnya sangat otentik dan artistik. Setelah
memilih kemudian mencetak, Alena memasukkan foto-foto itu ke dalam sebuah
amplop besar berwarna coklat dan tak lupa menyertakan biodata dan nomor
telepon. Karena hari ini jadwalnya untuk kontrol gigi ia akan menitipkan kepada
Pak Marwan yang juga akan ke kantor pos hari ini.
‘Kalau memang ini jalan
kesuksesanku, mohon mudahkan, Ya Tuhan.’
***
Satu
bulan kemudian.
Alena
baru saja masuk ke kamar mandi ketika mendengar suara telepon yang berdering.
Mama yang mengangkatnya.
“Halo.
Selamat sore.” Sapa suara di seberang.
“Sore.
Dengan siapa?”
“Saya
Vean Yugasvara, panitia penyelenggara lomba fotografi nasional. Apa benar ini
rumah Alena Putri Tamara?”
“Benar.
Ada hubungan apa anak saya dengan kegiatan ini?”
“Selamat
ya, Bu. Anak ibu terpilih menjadi pemenang lomba fotografi tingkat nasional.
Minggu depan, kami tunggu kedatangannya di Jakarta. Kami sudah mengiriminya
email.” Mama yang mendengar semua ini merasa tak percaya.
“Anda
tidak salah orang, kan?”
“Benar,
Alena adalah pemenangnya. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.” Penelpon
kemudian segera memutuskan jaringan telepon.
“Siapa,
Ma?” tanya Papa sambil membaca koran.
“Alena,
Pa. Alena, dia juara lomba fotografi nasional!” Seketika itu, Alena yang berada
di dekat mamanya tercengang. Apakah telinganya tidak salah dengar? Dia...dia
juara lomba fotografer nasional. Pantaskah?
“Mama
tidak bohong, kan?” Mamanya menggeleng dan langsung menghambur ke arahnya.
“Sayang,
Maafkan papa dan mama yang selama ini memaksa kamu untuk menjadi yang kami
inginkan. Mama tidak tahu kalau selama ini kamu punya bakat yang sangat hebat.
Mama sayang sama kamu.”
“Papa
bangga denganmu, Nak.” bisik papa lembut di telinga Alena. Alena hanya
tersenyum kecil, menahan air matanya agar tak tumpah.
***
Convention Hall Center, Jakarta
Pusat.
“Jadi,
bagaimana tawarannya Nona kecil Alena? Bersediakah memenuhi kontrak majalah
kami?” Sebelum ia membubuhkan tanda tangannya, Alena menatap sesaat ke arah
orang tuanya.
“Tidak
apa-apa, Sayang. Mereka semua mengerti kamu sebagai anak sekolah. Mereka pasti
akan mencarikan event yang pas saat
libur panjang.” kata mama.
“Tenang
saja, Alena. Kami akan mencarikan acara besar saat liburan sekolah agar tidak
menganggu sekolahmu. Peganglah omongan kami.” sahut Pak Yoga, Manager Majalah
National Superteens. Alena kemudian membuka tutup pulpennya dan menandatangi
kontrak tersebut. Usai penandatanganan kontrak dengan perusahaan majalah remaja
terbesar di Jakarta, Alena dikerubungi oleh beberapa wartawan media massa yang
hendak mewawancarainya.
“Hai,
Alena. Kamu peserta termuda dalam lomba ini. Apa rahasianya bisa memenangkan
lomba fotografi ini?”
“Hasil
fotografimu benar-benar sangat bagus dan berjiwa seni tinggi. Belajar dari
mana?”
“Bagaimana
usaha kerasmu memenangkan lomba ini? Fotomu sangat bagus setara dengan
fotografer nasional.” Alena menjawab berbagai macam pertanyaan itu dengan
lembut. Ia sedikit tak percaya bahwa lomba fotografi yang diikutinya membawa
pengaruh besar dalam dirinya. Ia juga tak menyangka bisa memenangkan lomba
fotografi karena sebelum-sebelumnya ia selalu kalah. Ah, dia, sang pemimpi yang
dulunya pesimis kini telah menemukan impiannya. Meskipun usianya masih muda, masih
berseragam biru-putih, dan masih harus membuat mimpi yang lebih matang untuk
masa depannnya. Alena menatap bayangan burung elang yang membentang di atas
awan, tiba-tiba teringat sosok Sindai, seorang anak adat yang telah
menyemangati hidupnya.
‘Terima kasih telah menguatkanku
dan membuatku yakin dengan mimpiku sendiri. Suatu saat nanti, kalau kita
sama-sama sudah dewasa dan menjadi orang sukses, kita pasti akan bertemu. Kamu
menjadi seorang penari hebat dan aku menjadi fotografer profesional. Kita adalah
para pemimpi yang tidak akan pernah putus untuk terus bermimpi dan mewujudkan
impian kita.’