Sabtu, 31 Agustus 2013

Kisah Para Pemimpi

Biarkan mimpi itu terus tergenggam kuat dalam diriku. Biarkan jiwa tak mudah menyerah menempel lekat dalam desir darah nadiku. Biarkan semua kekuatan itu menyatu menjadi sebuah mimpi yang nyata dan akan terwujud suatu saat nanti. –Sindai, Sang Penari.
“Alena Putri Tamara.” Bu Mayang, wali kelas 9-1 memanggil nama seorang muridnya dari balik meja gurunya dengan suara tegas. Sesosok gadis bertubuh tinggi semampai kemudian berjalan ke arahnya dengan raut wajah muram seolah sudah tahu apa yang ingin dikatakan wali kelasnya itu.
“Ini rapor kamu. Hasilnya...sudah bisa kamu bayangkan, kan?” Gurunya menatap gadis itu sambil menghembus napas berat. Gadis itu hanya diam sambil mengangguk pendek.
“Alena, tolong kamu katakan pada ibu apa yang membuat kamu jadi susah berkonsentrasi. Lihat nilai-nilaimu. Semuanya turun drastis.” Alena, nama gadis itu kemudian menatap nilai rapornya semester ini dengan wajah kaku seperti es batu. Tenggorokannya terasa tercekat sesuatu.
“Saya...akhir-akhir ini memang susah berkonsenstrasi, Bu. Mungkin karena manajemen waktu saya jelek sehingga saya tidak bisa mengatur kapan saya harus belajar giat kapan melakukan aktivitas selain itu.” bohongnya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ada masalah lain yang membuatnya jadi begini. Sulit berkonsentrasi dan nilainya amblas mendadak.
“Alena, kamu sudah kelas sembilan. Tidak sampai setahun lagi, kamu akan menghadapi yang namanya UAN untuk menentukan kelulusanmu. Saya mohon sama kamu, prioritaskan jadwal belajar kamu. Kurangilah aktivitas-aktivitas yang kurang penting. Kamu bisa melakukannya, kan?” Alena diam saja.
“Ibu benar-benar nggak ngerti sama diri kamu sekarang. Nilai ulangan yang selalu turun, konsentrasi kemana-mana, beda sekali dengan dulu. Selalu masuk tiga besar dan nilai ulangan selalu bagus. Diri kamu yang dulu kemana, Alena?” Guru bertubuh mungil itu menatapnya dengan cemas. Kacamatanya merosot sampai hidungnya.
“Maaf, Bu. Saya akan berusaha memperbaikinya lagi di semester baru nanti agar saya bisa mendapatkan nilai UAN yang maksimal.” kata Alena.
“Kamu janji?”
“Saya tidak bisa janji, Bu, tapi saya akan berusaha menunjukkan yang terbaik.” Alena bergegas menuju bangkunya sambil menenteng rapotnya. Teman-teman sekelasnya menatap ke arahnya dengan pandangan mencemooh.
“Masa yang juara kelas terus dari kelas tujuh nilainya banyak yang merah, sih?”
“Merasa sok otak Einstein, jadinya begitu. Huh!”
“Orang pintar sih banyak, tapi yang bisa mempertahankan kepintarannya cuma sedikit!” Alena yang mendengar itu semua merasa sedih dan terpedaya. Ia terpaku diatas bangkunya sambil menatap rapor hitamnya yang terlihat tajam di hadapannya. Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tak jatuh, namun pandangannya lama-lama semakin kabur dan air matanya perlahan menetes.
‘Maaf ya, Papa, Mama. Aku tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kalian.’
***
Alena membanting pintu kamarnya dengan keras setibanya disana. Tasnya dilempar begitu saja. Ia kemudian menangis tertelungkup di balik bantal tidurnya.
‘Aku ingin bebas. Aku tidak ingin terus seperti ini. Aku ingin leluasa mengarungi dunia. Bisakah hentikan semua paksaan tolol ini?’ gumamnya dengan hati yang berkelit. Ia kemudian duduk bersimpuh sambil memeluk lututnya. Dipandanginya dinding kamarnya yang penuh dengan foto-foto hasil jepretannya. Semuanya tampak natural, lembut, dan mengandung nilai estetika yang bagus. Alena dulu pernah mengutarakan cita-citanya kepada orang tuanya ingin menjadi seorang fotografer. Berkeliling dunia, memotret objek yang menarik, dan ingin punya nama besar. Sayangnya, orang tuanya menganggapnya sia-sia. Alena ingat betul kata papanya.
“Terlalu sayang otakmu untuk sekadar jadi fotografer. Tidak bisa bikin kaya.” Sementara mamanya, selalu memaksanya menjadi seorang dokter, cita-cita yang sangat mustahil baginya. Bermimpi memakai jas putih saja tidak pernah terpikir olehnya, apalagi harus membersihkan darah dan melihat mayat? Lebih baik mengunyah lem karet. Orang tuanya adalah seorang yang sangat cerdas dan punya nama besar di bidang sains. Papanya seorang teknisi mesin dan ibunya seorang dokter  bedah. Namun, tak satu pun itu semua melekat dalam diri Alena. Ia lebih suka dengan seni. Fotografi yang sangat dicintainya. Namun, hidup di keluarga seperti ini membuat keinginannya tidak terpenuhi. Orang tuanya lebih menginginkannya menjadi dokter dan punya penghasilan yang tinggi. Tidak seperti fotografer yang kerjanya tidak bisa sewaktu-waktu.
“Aku sudah dewasa Pa, Ma. Izinkan aku untuk menentukan pilihan cita-citaku dan mengasah kemampuanku.” Orang tuanya menentang keras kala Alena berkata seperti itu. Alena hanya bisa mengunci bibirnya. Saat ini yang dirasakannya hanya rasa sedih dan terkekang. Ia sangat haus. Haus rasa kebebasan dan ingin menjadi dirinya sendiri.
***
“Mama benar-benar tidak habis pikir kenapa nilai kamu bisa turun drastis seperti ini.” Itulah ungkapan pertama yang diucapkan mamanya ketika melihat rapornya.
“Maaf.” Mama menutup rapot itu dengan kasar.
“Kenapa sih kamu bisa seperti ini? Kamu melupakan impianmu menjadi dokter?” tanya mama keras.
“Sudah kubilang aku tidak ingin jadi dokter, Ma. Aku inginnya jadi fotografer!” berontak Alena.
“Alena, itu cita-cita yang konyol. Tidak bisa membuat kamu kaya. Berhentilah berkhayal jika suatu hari nanti ada yang ingin membeli fotomu dan menggajimu seratus juta.”
“Ma, itu cita-citaku. Kenapa mama selalu melarangku? Aku ingin jadi fotografer bukan karena untuk bisa kaya tapi aku bahagia menjalaninya. Mama mungkin tidak mengerti bagaimana rasanya, tapi aku tahu rasanya itu seperti apa.” Mamanya memandang sinis.
“Papa barusan telepon Mama. Dia sangat kecewa padamu.”
“Aku juga sangat kecewa sama papa dan mama. Karena kalian tidak pernah mau mengerti dan mendukung apa yang aku inginkan.” Alena langsung berlari menuju kamarnya tanpa mempedulikan mamanya yang mengomel dari luar kamar. Hatinya saat ini terasa sakit sekali. Sakit yang lebih sakit dari yang dirasakan batinnya. Alena tahu, saat-saat ini akan selalu hadir tak terelakkan untuknya.
***
Pintunya berderit pelan ketika ia baru saja memasukkan batteray charger kameranya ke dalam lemari.
“Bi Ningsih?” Alena menyambut pengasuhnya itu dengan ringan.
“Non, liburan tidak jalan?” tanya Bi Ningsih sambil membuka jendela kamar Alena. Alena menggeleng.
“Memang mau jalan kemana, Bi? Di Bontang tidak ada yang menarik untuk difoto. Semua tempat sudah pernah aku kunjungi.” jawab Alena.
“Coba ke acara Erau Pelas Benua di Guntung deh, Non. Acara adatnya Suku Dayak. Disana banyak atraksi dan tradisi Suku Dayak. Keren deh.”
“Keren? Bibi yakin?” Alena sedikit tak yakin dengan acara daerah semacam itu.
“Iya, Bibi sudah pernah lihat beberapa kali tahun kemarin. Disana kita bisa lebih bisa menghargai budaya daerah kita sendiri lho, Non. Kita juga bisa belajar banyak tentang tradisi-tradisi Suku Dayak ataupun Suku Kutai.” Bibinya menatapnya dengan sinar mata yang meyakinkan. Alena melihat bibinya, lalu mengangguk setengah yakin.
“Boleh deh, Bi. Kapan acaranya?”
“Besok hari pembukannya. Pasti rame deh jadi Non Alena bisa mengambil objek foto yang banyak. Non Alena masih cinta sama fotografi, kan?” Alena mengangguk mantap. Bi Ningsih segera beranjak dari ranjang Alena sambil membisikkan sesuatu di telinga Alena.
“Kalau yang namanya cinta terhadap sesuatu itu harus terus dicintai, Non. Meski kondisinya tidak seperti yang Non Alena harapkan. Tapi percaya deh, Non suatu saat sesuatu yang Non cintai itu bisa berbuah manis dan membuat Non menjadi bahagia kemudian menjadi orang yang dicintai semua orang.”
***
Alena bergegas menemui Pak Marwan, sopirnya tanpa memedulikan rambutnya yang masih menjuntai basah sehabis keramas.
“Ayo, Pak antar saya ke Guntung. Nanti saya terlambat.” Pak Marwan yang sedang meneguk kopinya sedikit tersedak.
“Ini masih pagi, Non. Non memangnya sudah sarapan?”
“Nggak penting ah, Pak sarapan. Nanti saya telat lho, Pak memotret acara pertamanya.” Pak Marwan mengangguk lalu segera berlari ke garasi, memanaskan mobil. Tanpa basa-basi Alena langsung masuk ke dalam mobil dan mobil pun mulai melaju, meninggalkan kawasan kompleks perumahannya yang elite itu.
***
“Non, sudah sampai.” Alena segera terjaga dari tidurnya dan membuka seatbelt-nya. Guntung rupanya sudah dipenuhi orang dan tampaknya acara pertama sudah dimulai. Alena segera mengalungkan kamera Nikon miliknya dan berjalan menuju pendopo. Atraksi pertama yaitu Tari Jepen yang merupakan tarian penyambutan upacara Erau Pelas Benua. Acara ini disusul dengan penaburan bunga kepada tamu yang tujuannya agar mendapat keberkahan dan keselamatan selama kunjungan dalam rangkaian acara Erau Pelas Benua ini. Saat melihat penari yang sedang menarikan Tarian Jepen di atas pendopo dengan gerakan yang luwes, Alena begitu terkesiap melihat seorang penari bertangan buntung diatas panggung yang benar-benar menakjubkan. Tariannya begitu lemah gemulai dan lebih luwes dibanding penari lain. Alena segera mendekatkan diri ke dekat panggung lalu memotret penari itu. Ekspresi gadis itu benar-benar sangat lembut dan tenang. Alena berencana mengobrol dengan gadis itu usai tarian tersebut selesai. Namun, sebelum sempat impiannya terwujud, badan mungilnya mulai terombang-ambing oleh banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara yang hadir. Kepalanya terasa pening, sepertinya penyakit anemianya akan kambuh. Matanya kembali berkunang-kunang dan tak lama ia terjatuh dan tak ingat apa-apa.
***
“Hai, kamu tidak apa-apa?” Suara lembut mulai merambati telinganya. Aroma dupa yang begitu menyengat membuat kelopak matanya terbuka.
“Kamu siapa?” tanya Alena dengan suara yang terdengar berat.
“Aku Sindai.” jawab gadis itu singkat. Alena celingukan. Dia sedang berada di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan tampak dipenuhi dengan berbagai macam ornamen khas Suku Dayak.
“Kamu tadi pingsan. Lalu, tetua adatku membawamu kesini.” Gadis itu kemudian menyerahkan segelas air putih kepada Alena. Mendadak Alena merasa familier dengan wajah gadis itu. Astaga, itu penari bertangan buntung itu!
“Kamu tadi yang menari saat acara penyambutan, kan?” Gadis itu mengangguk sekilas.
“Gerakanmu benar-benar sangat luwes dan indah. Menurutku, kamu tadi menari lebih baik dari penari lainnya.”
“Ah, tidak. Kamu terlalu berlebihan memujiku.” Gadis itu kemudian beranjak dan berjalan menuju pekarangan rumahnya yang sederhana.
“Boleh mengobrol sebentar?”
“Niatku memang ingin mengajaku mengobrol sejak tadi.” Sindai, namanya mempersilahkan Alena duduk di sebelahnya.
“Kamu siapa?”
“Aku Alena.”
“Kalau boleh kusarankan kamu cocok sekali menjadi seorang penari profesional. Kamu punya bakat yang cemerlang, pasti kalau sering dilatih semuanya bisa menjadi nyata.”
“Impianku sedari dulu memang ingin menjadi seorang penari. Ingin menunjukkan kepada dunia bahwa aku walau cacat tapi tetap bisa menari. Lalu, aku ingin mengangkat budayaku agar bisa dikenal semua orang. Anak-anak muda zaman sekarang terlalu terpengaruh dengan modernisasi. Aku sangat takut jika mereka terlalu melupakannya, warisan budaya kita akan hilang. Kita bukan lagi negara berbudaya. Kita bukan lagi siapa-siapa jika warisan budaya kita hilang.” Alena terpengarah. Gadis ini benar-benar hebat. Di zaman sekarang sangat sulit rasanya menemukan gadis yang masih menjaga warisan budaya.
“Orang tua kamu selalu mendukungmu?”
“Pasti. Mereka membebaskanku memilih jalanku sendiri. Mereka menyuruhku untuk terus mengasah bakatku walau dengan kondisi fisik tak sempurna. Aku harus percaya dengan mimpiku sendiri. Karena bagaimana pun, masa depanku ada dalam mimpi dan cita-citaku sekarang.” kata Sindai lalu mengelap keringat di dahinya.
“Tapi...,” Alena tiba-tiba teringat dengan orang tuanya.
“Menurutmu bagaimana dengan orang tua yang memaksakan kehendaknya untuk anaknya? Misalnya memaksa anaknya menjadi dokter.”
“Aku juga heran banyak orang tua memaksakan anaknya memilih jalan yang tidak dicintai anaknya. Menyuruh anaknya menjadi ini dan itu tanpa mempertanyakan anaknya. Menurutku itu tipikal orang tua otoriter. Aku tahu maksud mereka pasti ingin anaknya punya masa depan yang sukses dan lebih baik, tapi bukan begitu caranya.” Alena melihat raut wajah tak suka dari bola mata Sindai.
“Aku terlahir dari keluarga seperti itu, menurutmu apa yang harus aku lakukan?”
“Jangan berhenti mengasah bakatmu. Tetaplah cinta dengan hobi yang kamu sukai. Kamu harus membuktikan bahwa suatu hari nanti kamu bisa sukses dengan bakat yang kamu miliki. Mereka butuh pembuktian. Itu sudah cukup, kok.” Alena mengangguk mengerti.
“Ingat kata-kata ini. Biarkan mimpi itu terus tergenggam kuat dalam diriku. Biarkan jiwa tak mudah menyerah menempel lekat dalam desir darah nadiku. Biarkan semua kekuatan itu menyatu menjadi sebuah mimpi yang nyata dan akan terwujud suatu saat nanti.” Sindai kemudian merangkul Alena dengan bersahaja. Tak terasa, fajar mulai tenggelam di ufuk barat. Kini cerah berganti dengan gelap dan suara petikan sampeq—alat musik daerah Suku Dayak mulai terdengar hening. Alena kemudian berpamitan kepada Sindai dan mengucapkan terima kasih.
“Jangan menyerah, Alena. Kamu pasti bisa menunjukkan kepada orang tuamu kalau kamu bisa menjadi anak kebanggan mereka.” Alena tersenyum lalu segera menyetop angkot yang melintas. Hapenya lowbatt jadi dia tidak bisa menghubungi Pak Marwan, sopirnya. Lebih baik menyetop angkot agar bisa mengantarnya sampai ke rumah.
Suuung...Angin yang begitu kencang membuat selembar kertas lusuh tertempel di wajah Alena.
IKUTILAH LOMBA FOTOGRAFER SE-INDONESIA
KHUSUS PELAJAR SMP
TEMA : LOKALITAS BUDAYA MASING-MASING DAERAH
DEADLINE : 3 MEI 2013
Kirimkan ke alamat: Jln. Kapt. Pierre Tendean, Mampang, Jakarta Selatan. Kode Pos: 45564. Jangan lupa sertakan biodata dan nomor telepon yang bisa dihubungi!
Brilian! Alena tidak memanfaatkan kesempatan ini sia-sia. Ia akan segera mengirimkan beberapa hasil fotonya dan ingin membuktikan kalau ia bisa mewujudkan impiannya menjadi seorang fotografer dan membuat bangga orang tuanya.
***
Jam menunjukkan pukul 07. 15 lalu setelahnya terdengar suara gedubrak dari ranjang tidurnya. Semalam, orang tuanya menceramahinya karena ia pulang terlambat. Pagi ini ia pun bangun terlambat. Jika biasanya ia selalu bangun pukul 06. 00, sekarang baru bangun pukul 07. 15. Ia segera menyalakan komputer lalu akan mencetak beberapa fotonya yang sudah dimasukkan ke komputer tadi malam. Ia memilih beberapa foto yang menurutnya sangat otentik dan artistik. Setelah memilih kemudian mencetak, Alena memasukkan foto-foto itu ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat dan tak lupa menyertakan biodata dan nomor telepon. Karena hari ini jadwalnya untuk kontrol gigi ia akan menitipkan kepada Pak Marwan yang juga akan ke kantor pos hari ini.
‘Kalau memang ini jalan kesuksesanku, mohon mudahkan, Ya Tuhan.’
***
Satu bulan kemudian.
Alena baru saja masuk ke kamar mandi ketika mendengar suara telepon yang berdering. Mama yang mengangkatnya.
“Halo. Selamat sore.” Sapa suara di seberang.
“Sore. Dengan siapa?”
“Saya Vean Yugasvara, panitia penyelenggara lomba fotografi nasional. Apa benar ini rumah Alena Putri Tamara?”
“Benar. Ada hubungan apa anak saya dengan kegiatan ini?”
“Selamat ya, Bu. Anak ibu terpilih menjadi pemenang lomba fotografi tingkat nasional. Minggu depan, kami tunggu kedatangannya di Jakarta. Kami sudah mengiriminya email.” Mama yang mendengar semua ini merasa tak percaya.
“Anda tidak salah orang, kan?”
“Benar, Alena adalah pemenangnya. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.” Penelpon kemudian segera memutuskan jaringan telepon.
“Siapa, Ma?” tanya Papa sambil membaca koran.
“Alena, Pa. Alena, dia juara lomba fotografi nasional!” Seketika itu, Alena yang berada di dekat mamanya tercengang. Apakah telinganya tidak salah dengar? Dia...dia juara lomba fotografer nasional. Pantaskah?
“Mama tidak bohong, kan?” Mamanya menggeleng dan langsung menghambur ke arahnya.
“Sayang, Maafkan papa dan mama yang selama ini memaksa kamu untuk menjadi yang kami inginkan. Mama tidak tahu kalau selama ini kamu punya bakat yang sangat hebat. Mama sayang sama kamu.”
“Papa bangga denganmu, Nak.” bisik papa lembut di telinga Alena. Alena hanya tersenyum kecil, menahan air matanya agar tak tumpah.
***
Convention Hall Center, Jakarta Pusat.
“Jadi, bagaimana tawarannya Nona kecil Alena? Bersediakah memenuhi kontrak majalah kami?” Sebelum ia membubuhkan tanda tangannya, Alena menatap sesaat ke arah orang tuanya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Mereka semua mengerti kamu sebagai anak sekolah. Mereka pasti akan mencarikan event yang pas saat libur panjang.” kata mama.
“Tenang saja, Alena. Kami akan mencarikan acara besar saat liburan sekolah agar tidak menganggu sekolahmu. Peganglah omongan kami.” sahut Pak Yoga, Manager Majalah National Superteens. Alena kemudian membuka tutup pulpennya dan menandatangi kontrak tersebut. Usai penandatanganan kontrak dengan perusahaan majalah remaja terbesar di Jakarta, Alena dikerubungi oleh beberapa wartawan media massa yang hendak mewawancarainya.
“Hai, Alena. Kamu peserta termuda dalam lomba ini. Apa rahasianya bisa memenangkan lomba fotografi ini?”
“Hasil fotografimu benar-benar sangat bagus dan berjiwa seni tinggi. Belajar dari mana?”
“Bagaimana usaha kerasmu memenangkan lomba ini? Fotomu sangat bagus setara dengan fotografer nasional.” Alena menjawab berbagai macam pertanyaan itu dengan lembut. Ia sedikit tak percaya bahwa lomba fotografi yang diikutinya membawa pengaruh besar dalam dirinya. Ia juga tak menyangka bisa memenangkan lomba fotografi karena sebelum-sebelumnya ia selalu kalah. Ah, dia, sang pemimpi yang dulunya pesimis kini telah menemukan impiannya. Meskipun usianya masih muda, masih berseragam biru-putih, dan masih harus membuat mimpi yang lebih matang untuk masa depannnya. Alena menatap bayangan burung elang yang membentang di atas awan, tiba-tiba teringat sosok Sindai, seorang anak adat yang telah menyemangati hidupnya.
‘Terima kasih telah menguatkanku dan membuatku yakin dengan mimpiku sendiri. Suatu saat nanti, kalau kita sama-sama sudah dewasa dan menjadi orang sukses, kita pasti akan bertemu. Kamu menjadi seorang penari hebat dan aku menjadi fotografer profesional. Kita adalah para pemimpi yang tidak akan pernah putus untuk terus bermimpi dan mewujudkan impian kita.’

Kisah Tak Sempurna


Lantunan nada romantis yang mengalun lembut masih terdengar di sepanjang kafe. Udara dingin yang menusuk dan suara petir yang memekakkan membuatnya merasa bosan untuk menunggu lebih lama. Ia memasukkan jari-jarinya ke dalam kantung jaketnya lalu sibuk memperhatikan air hujan yang turun secara berirama.
“Marsha.” Sebuah suara bariton memanggil namanya.
“Are you okay?”
“Not sure. Hujan masih belum berhenti, kapan bisa hunting fotonya?” Sebuah kamera Nikon tegeletak di meja mereka tak berdaya.
“Kalau hujan mau gimana lagi? Kita tunggu sebentar lagi, ya.” Cowok di sampingnya kemudian melipat tangannya di meja dan menatap Marsha sambil tersenyum hangat.
“Serius, aku benar-benar benci hujan!” gerutu Marsha kesal. Rencananya, mereka berdua akan memulai hari pertama liburan sekolah mereka dengan hunting fotografi, sebuah kegiatan yang sangat mereka sukai. Namun, mendadak rencana mereka gagal total akibat hujan yang tanpa permisi langsung mengguyur deras.
“Nikmatin ajalah hujannya. Musim hujan itu musim paling asyik, lho. Dingin tapi menghangatkan. Apalagi kalau kamu disamping aku.”
“Huh, kamu tuh bisanya cuma gombal!” Marsha kemudian mencubit lengan cowok itu dan memperhatikan rambutnya yang semakin hari semakin memanjang dan kulitnya yang semakin gelap. Wajahnya mungkin jauh dari kesan aristokrat seperti yang selama ini semua cewek idamkan. Wajahnya terkesan sangar namun hatinya sangat lembut tak terduga. Sejak pertama kali berjumpa beberapa waktu lalu, ada sesuatu yang mengusik  perhatian Marsha tentang cowok ini. Cowok ini mungkin lebih cocok jadi preman Tanah Abang ketimbang jadi pacar. Namun, entah mengapa cowok ini selalu membuatnya terbayang-bayang dan jatuh hati. Setidaknya sampai sekarang. Perasaannya masih belum berubah.
***
Namanya Banyu. Marsha mengenalnya di sebuah klub fotografi beberapa bulan lalu. Menurut sebagian besar orang, Banyu adalah orang yang menyeramkan. Namun, Marsha nggak gampang percaya dengan semua itu. Diam-diam, ia mulai menyelami karakter Banyu dan tahu sesuatu dibalik itu semua. Ia berasal dari keluarga broken home. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita dan tentu saja itu sangat melukai hati ibunya. Banyu tidak bisa menerima itu semua dan terus memberontak. Ia kemudian pergi dari rumahnya namun tetap mengontrol kondisi ibunya. Maka dari itu, sikap Banyu tiba-tiba berubah drastis. Dari yang suka nongkrong menjadi pendiam dan penyendiri. Dari yang rapi jadi berantakan. Trauma tentang keluarganya yang rusak masih sukar dilupakan olehnya. Marsha pun kemudian hadir untuk Banyu. Mengisi hari-hari Banyu yang sempat kosong dengan segenggam semangat yang menyatukan. Ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa ia jatuh cinta dengan Banyu. Banyu yang menurut orang adalah monster berbentuk manusia, berhasil meluluhkan hatinya. Marsha teringat percakapannya dengan Banyu saat mereka saling mengutarakan perasaan mereka masing-masing.
“Orang boleh mengatakan aku adalah manusia tolol di dunia ini. Tapi, percaya atau nggak aku jatuh cinta sama kamu. Kamu yang berbeda. Kamu yang punya kekuatan untuk melewati hidupmu sendiri.”
“Jatuh cinta itu memang aneh. Bisa terjadi pada siapa dan ke siapa. Aku juga nggak bisa membohongi perasaanku kalau aku juga suka sama kamu. Tapi aku berpikir, apa aku pantas memilikimu? Aku yang katanya orang seperti cowok berandal.” Marsha waktu itu diam saja sambil menangis. Banyu kemudian mengusap air matanya dan memeluknya dengan hangat. Sejak saat itu, mereka meresmikan hubungan mereka tanpa diketahui oleh siapa pun.
***
“MARSHA!” Belum sempat langkah kakinya mencapai halaman rumah, ayahnya sudah meneriakinya dari depan rumah. Sebuah tatapan bengis dan penuh kebencian mengarah ke dua pasang mata Banyu.
“Habis darimana saja kamu dengan orang ini?!” bentah ayahnya keras.
“Aku habis dari kafe, Yah sama Banyu. Rencananya tadi mau hunting tapi karena...”
“ALASAN! Sekarang kamu masuk! Dan kamu cowok berengsek, silahkan tinggalkan rumah kami!”
“AYAH! Jangan berbicara kasar dengan Banyu. Dia cowok yang baik, tidak seperti apa yang ayah pikirkan.” bela Marsha.
“Mata kamu dibutakan apa oleh dia, Sha? Lihat penampilannya. Urakan dan tidak tahu cara berpakaian dengan benar. Cowok seperti ini kamu bilang cowok baik-baik?” Ayahnya kemudian mendorong tubuhnya dan membuatnya tersungkur di lantai.
“Om boleh berbicara kasar dengan saya tapi jangan berlaku kasar dengan anak Om sendiri.” ujar Banyu seraya menangkap tubuh Marsha.
“Lebih baik kamu keluar sekarang juga!” Dengan paksa, Ayah Marsha menarik Banyu keluar dari pagar rumah. Marsha menggamit tangan Banyu namun keburu ditepis dengan ayahnya.
“Banyu.” Marsha berkata lirih.
Don’t worry, Dear. I’m fine.” Banyu kemudian menatap Marsha sesaat lalu tersenyum dan pergi.
***
“Oalah, Nak. Dari dulu ayah sama ibu sudah melarang kamu untuk berhubungan dengan orang itu. Lihat kan, ayah sekarang jadi marah besar!” kata Ibu sambil memangku anak kesayangannya yang sedang menangis.
“Tapi, Bu. Aku cinta sama Banyu. Tampangnya mungkin agak berandalan tapi aslinya dia baik.” kata Marsha sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Kamu baru kelas 1 SMA, Sha! Ngerti apa kamu tentang cinta?” bentak ayahnya dari luar.
“Lagipula kamu bisa mendapatkan cowok yang lebih baik dari Banyu. Kamu anak yang baik, sudah sepantasnya mendapatkan yang baik juga.”
“Ayah tidak mau tahu! Kamu harus memilih. Tetap mempertahankan Banyu atau keluar dari rumah? Ayah nggak ingin punya anak yang berpacaran dengan cowok bertampang berandal!” Hati Marsha tiba-tiba merasa nyeri. Ia merasakan sakit yang lebih dari rasa sakit yang dirasakan batinnya.
***
Jam dua belas telah berdentang sejak lima menit yang lalu. Ia berdiri di antara dua bingkai foto di hadapannya. Pikirannya terasa ruwet memikirkan suatu hal rumit.
“Dalam hidup kadang dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit. Aku nggak tahu harus memilih siapa. Aku benar-benar egois!” Ia menatap bingkai foto itu dengan lekat dan memutar otaknya, mengingat memori penting bersama orang-orang dalam bingkai foto tersebut. Sebuah memori yang nyaris tak terlupakan olehnya. Semuanya terasa indah dan mengalir begitu saja. Lalu, seperti adegan film semuanya berhenti. Ia kembali membuka matanya yang semula terpejam. Ia tarik napasnya lalu menyentuh salah satu bingkai tersebut. Ia berharap semoga pilihannya tak mengecewakan hatinya. Ia menutup salah satu bingkai foto tersebut diselingi dengan tangis bercampur rasa sakit yang menggelora di dadanya.
“Maaf.” Tubuhnya kemudian merosot di lantai. Tulangnya terasa pilu tak sanggup untuk berdiri dan mengungkapkan kebenaran yang ada.
***
Mereka masih membisu sejak sepuluh menit yang lalu bertemu. Taman yang tampak ramai membuat mereka sama sekali tidak berkutik sedikit pun. Mereka tetap diam, bergeming.
“Aku minta maaf soal kemarin.” Marsha akhirnya bersuara.
“Nggak apa-apa.” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir Banyu.
“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah menyesal telah memilikimu. Meski tampangmu berandalan, aku tetap sayang sama kamu. Kamu yang kuat dan bisa menjalani hidupmu dengan baik. Tapi,” Marsha menyapukan pandangannya sesaat ke arah taman.
“Kalau disuruh memilih antara kamu dan orangtuaku, Aku lebih memilih orangtuaku. Mereka adalah segalanya buatku. Maaf, aku nggak bisa mempertahankan hubungan ini.” Banyu sudah menduga Marsha akan mengatakan ini padanya. Meski sakit, Banyu harus lapang menerimanya.
“Aku mungkin memang bukan cowok yang tepat untuk kamu, Sha. Itu pilihan hatimu, aku nggak bisa melarang. Semoga pilihamu tepat.” Marsha kemudian memiringkan wajahnya, menahan tangis. Langit seketika menjadi kelabu. Mereka kemudian beranjak pergi namun Banyu menarik tangan Marsha sesaat.
“Terima kasih untuk semuanya.” Marsha mengangguk sambil tersenyum sedih. Mereka kemudian berpisah ke arah yang berlawanan. Marsha menatap bayangan Banyu yang sudah jauh meninggalkannya. Hatinya sangat pedih menyaksikan itu semua. Ia tak boleh menangis, harus tegar menghadapi semua ini. Dibawah rinai gerimis hujan, Marsha terduduk kaku di atas bangku yang tadi. Mencium aroma tanah basah tanpa kehangatan. Ia disana sendirian. Tak tahu sampai kapan akan disana. Ia tak ingin merencanakannya.
‘Seperti layaknya sebuah kisah semuanya tak selalu berakhir sempurna. Karena di dunia memang nggak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan.’