Minggu, 04 September 2011

Gadis Kecil Dari Tepi Rel Kereta Api

     Aku akan membagikan sebuah kisah yang ditulis oleh Tante Helvy Tiana Rosa, salah satu sastrawan favoritku, untuk kalian semua, para pengunjung blog-ku. Tertawa dan menangislah jika kalian benar-benar menghayati kisah ini. Semoga bermanfaat dan kalian dapat mengambil hikmah yang terselinap di dalamnya...


Suatu hari, seorang guru bertanya pada murid-muridnya di kelas I SD. "Anak-anak, apakah cita-cita kalian?"

Semua murid tertawa ketika seorang murid perempuan dengan mata berbinar berkata: "Aku ingin jadi penulis."

"Mengapa engkau ingin menjadi penulis?" tanya gurunya.

"Aku ingin banyak orang membaca karyaku, menangis, tertawa dan mendapatkan sesuatu. Aku ingin jadi penulis, agar saat aku tiada nanti, ada yang kutinggalkan pada dunia, selain nama baik."

Sejak saat itu, gadis kecil itu mulai rajin mengirim tulisan ke berbagai media. Sayang, karyanya yang ditulis tangan selalu dikembalikan. Ia bertanya pada ibunya, "Mama, temanku mengirim gambar yang dibuatnya dengan tangannya sendiri dan dimuat? Mengapa tulisan yang kubuat dengan tanganku tak bisa dimuat?"

Ibunya tersenyum dan menyarankan sang anak untuk meminjam mesin tik tetangga mereka.

Gadis kecil itu mulai mengetik perlahan dengan menggunakan satu jari. Kadang malam hari di depan rumah, dengan lampu seadanya, sambil menatap bulan. Kalau aku berhenti menulis sekarang, maka aku tak akan pernah menjadi penulis selamanya, pikirnya. Ia mulai mengirimkan karyanya lagi ke beberapa media. Saat tukang pos datang membawa kembali naskahnya yang ditolak, ia tahu, ia tak boleh menangis. Tapi mama menangis. Dan anak kecil itu senantiasa menghibur ibunya, "Ma, saatnya belum tiba, jangan menangis. Lihat, aku tak punya airmata," katanya tersenyum. "Mungkin lain kali."
Ia terus menulis. Lalu mulai ada karyanya yang dimuat di koran dan majalah.

Dari honor tulisan yang tak seberapa, ia membeli buku-buku cerita kesukaannya, yang selama ini hanya ia pandangi lama di toko buku. Dengan menggunakan sebuah meja kayu, bersama adiknya, ia membuka penyewaan buku cerita kecil-kecilan di depan tempat tinggal mereka yang sederhana. Ia harus menjadi orang pertama yang membaca semua buku yang ada di rumah. Ia mencoba mengkritisi buku-buku yang dibacanya dengan gaya kanak-kanaknya.

Gadis kecil itu berharap suatu saat bisa berkenalan dengan beberapa sastrawan ternama yang karyanya ia baca. Bercakap-cakap bagai sahabat akrab yang lama tak berjumpa. Tapi ia hanya bisa melihat para pengarang idolanya di koran dan majalah.

Suatu hari ia berjalan kaki dari Kemayoran ke Taman Ismail Marzuki, tempat para seniman dan sastrawan berkumpul. Ia bacakan puisi karyanya di kantin tempat mereka makan dan berdiskusi. Ia mendapat sedikit lirikan, disodori recehan dua puluh lima rupiah berulang kali. Ah, ia terlalu kecil untuk bisa berseru, “Tuan pengarang, apakah anda punya waktu sebentar saja untuk saya?”

Tapi para pengarang memang terlalu sibuk menangkap dan menata kata-kata yang berserakan di semesta. Gadis kecil pulang dan menulis surat untuk pengarang idolanya. Tak ada balasan. Hanya angin menghempaskan hampa ke wajahnya.

Maka entah sejak kapan, setiap usai membaca sebuah buku, gadis kecil membuat selembar surat pendek. Surat dari “sang pengarang” untuk dirinya. Isinya: “sang pengarang” senang gadis kecil telah membaca karyanya dan berharap gadis kecil mau mengembangkan bakat menulisnya dan sudi mengajak semua orang yang dijumpainya untuk membaca dan menulis.

Gadis kecil mengukir hari-harinya dengan asa. "Kamu tahu, adikku, bila aku jadi pengarang, aku akan buat kejadiannya tak seperti ini, tetapi begitu. Aku akan membuat tokoh-tokoh yang unik. Aku akan memasukkan orang-orang yang kita kenal sebagai tokoh-tokoh ceritaku yang abadi. Lucu bukan? Kalau aku dan kamu sudah jadi penulis, kita juga akan mengajak semua orang menulis....”

Adik perempuannya yang sering sakit-sakitan, tertawa menampakkan gigi yang tak rata, sambil memeluk boneka kumal kesayangannya. “Benarkah, Kakak? Kapan itu? Mungkin kita bisa keliling dunia?”

Setiap malam, di dalam sebuah rumah kayu di tepi rel kereta api, seorang gadis kecil bermimpi punya mesin tik yang bisa berbunyi sendiri dan mengigau suatu saat semua orang di dunia menjadi penulis yang menulis dengan hati.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar