Rabu, 19 Oktober 2011

Glitter Warna-Warni Pereda Marah


    Hai, All Friends! Ini adalah sebuah cerpen yang aku ikut sertakan dalam Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2011, yang diadakan oleh Kemendiknas, Senayan, Jakarta. Kali, ini, aku akan membagikan postingan cerpen ini kepada kalian. Semoga cerpen ini dapat bermanfaat bagi kalian dan dapat menang dalam ajang LMCR 2011 tersebut! Amiin...Please, Read!
   
     Namaku Debora Amanda.  Tapi, aku biasa dipanggil Debbie oleh teman-temanku! Aku adalah murid pindahan dari Swiss ke Inggris, mengikuti kedua orangtuaku yang berpindah perusahaan ke Negara Inggris. Awalnya, cukup sulit bagiku untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, bahasa yang berbeda, cara pergaulan yang berbeda, adalah halangan yang membuatku sangat sulit menyesuaikan dengan tempat baru. Namun, berkat dukungan kedua orang tua tercinta, akhirnya selang dua bulan kemudian aku mampu beradaptasi dengan lingkunganku yang baru. Sungguh, sangat menyenangkan! Sekarang, aku bisa beradaptasi dengan tempat baru yang begitu menyenangkan dan aku dapat bertemu dengan teman-teman baru yang begitu baik padaku. By the way, sudah satu tahun lamanya aku berada di Inggris. Dan, selama proses perjalanan satu tahun itu, aku telah menemukan seorang sahabat. Nama lengkapnya Famella Destiny Georgeweasly. Nama belakangnya sungguh sangat ribet, tetapi aku dan lainnya biasa memanggil Mella. Dia anaknya cantik, rambutnya panjang sepunggung, dan bola matanya yang bersinar berwarna ungu tua. Dia anak blasteran. Blasteran Belgia dan Inggris. Makanya, dia terlihat sangat cantik dengan mukanya yang sangat kebule-bulean. Kami berdua satu sekolah, satu angkatan, dan satu kelas di sebuah sekolah internasional yang bernama International Pervectory Junior High School yang berada di tengah-tengah Kota London, Inggris. Oh, ya! Kalian belum kuceritakan. Aku sama Mella, juga mempunyai hobi yang sama, yaitu travelling. Setiap liburan musim panas atau setiap liburan akhir semester, kami selalu berlibur bersama, mencari tempat wisata yang menyenangkan untuk dikunjungi bagi kami berdua! Hehe..Satu tahun lamanya sudah aku bersahabat dengan Mella. Selama satu tahun itu, juga telah aku ketahui kelebihan ataupun kekurangan Mella. Ternyata, Mella tuh, anaknya suka marah-marah, lho! Dia suka membentak adiknya, Jason, dengan masalah yang tidak terlalu fatal! Seperti merusakkan barang atau mengacak-ngacak tempat tidur! Kalau ada teman sekelasku yang enggak sengaja meminjam pulpen atau pensil tanpa sepenghetauan Mella, Mella pasti langsung marah besar dan enggak mau memaafkan temanku yang enggak sengaja meminjam itu. Trus itu, pernah ada kejadian. Waktu itu, Mella, kan, habis berlibur ke Melbourne, Australia. Yang pastinya Mella membawa beberapa oleh-oleh untukku dan beberapa anak perempuan lainnya di kelas. Nah, pada saat istirahat, Farrel, anak beasiswa di kelasku nggak sengaja menjatuhkan pulpen emas berkilau yang dimiliki Mella, sampai patah. Mella yang menghetaui hal itu, marah besar kepada Farrel dan nggak akan memaafkannya! Padahal, Farrel nggak sengaja, lho! Mella pun akhirnya memberi hukuman kepada Farrel, yaitu Farrel disuruh membeli pulpen emas itu tepat di tokonya langsung dengan bentuk pulpen yang sama! Huuh…Kasihan banget sih, Farrel! Semua anak-anak di kelas ini tahu, Kalau Farrel adalah anak berkecukupan yang ber-sekolah di kawasan elite ini. Pastinya, dia nggak punya uang lebih untuk mengganti pulpen emas berkilau Mella! Sekolah aja, pakai bantuan pemerintah! Huuh..kasihan, ya!

    “Hallo, Debbie, My Best Friend! Udah mengerjakan PR Matematika belum?” tanya Mella sembari menghampiri diriku yang baru saja menginjakkan kaki di depan ruang kelas.  “Umm…Sudah, dong! Emangnya kamu kenapa, Belum mengerjakan, ya?” tebakku seraya tertawa. Mella hanya menganggukkan kepalanya seraya merengut kecil. “Kantin, yuk! Aku belum sarapan, nih,” ujar Mella manja seraya menarik kencang kedua telapak tanganku. Aku berpikir sejenak, lalu…”Sudahlah, Debb! Masukannya masih satu jam lagi! Lagian, kita ini datangnya memang terlalu pagi,” lanjut Mella. Aku pun akhirnya menerima dengan senang hati ajakan Mella. Memang sih, aku dan Mella memang datang terlalu pagi. Habisnya, ada tugas piket, sih! Jadi, datangnya harus pagi-pagi sekali dan harus serba cepat…
Sewaktu di Kantin…
     DUG! Tak sengaja, Kaki Jessica, temanku menyelengkat kaki Mella. Sehingga, membuat gelas orange juice yang dipegang oleh Mella, terjatuh dan pecah. Baju putih Mella pun, ikut tercampur dengan cairan oranye yang kental itu. “OH MY GOD…!” jerit Mella histeris dengan baju putihnya yang kotor dan berlumur cairan orange juice itu. “Duuh…Kamu tuh, DASAR! Nyelengkat kaki orang sembarangan! Sialan! Awas, kamu, ya…HUH!” kata Mella kasar seraya mendorong tubuh Jessica hingga terjatuh ke lantai. “Adduuh…Maafin aku ya, Mell! Aku nggak sengaja. Sorry…Banget! Mohon dimaafin, ya!” kata Jessica dengan muka memelas, tampak sangat bersalah. “No, No, No! Aku nggak bakal maafin kamu, TAU! Kamu tuh, ya…Udah buat baju aku kotor! Udah buat aku malu! Kamu berani bayar, apa? DASAR! Bego amat sih, jadi orang!” kata Mella, dengan kesalnya. Kelihatannya, dia tampak sangat frustasi dengan kejadian ini. Mella yang tersungkur di lantai, dibantu berdiri oleh Chicka, teman satu kelasku. Aku yang melihat Mella begitu frustasi, berusaha menenangkannya sekuat tenaga. “Mmm…Tolong dimaafin ya, Mell! Suer, Aku bener-bener nggak sengaja! Gimana kalau sebagai gantinya, Aku berikan kamu brownies cokelat! Semoga kamu suka, ya!” kata Jessica ramah sambil memberikan sekotak brownies cokelat lezat untuk Mella. PRAK! Mella segera melempar kotakan brownies cokelat itu dan pergi cepat mendahuluiku. Sementara Jessica, hanya tersenyum pasrah sambil memandangi kotak brownies-nya yang kuenya telah berceceran di lantai. “Jessica, Maafin Mella, ya!” ujarku seraya mendekati tubuhnya dan menyentuh pundaknya. “Iya, Nggakpapa kok, Debb! Kamu nggak usah merasa bersalah begitu. Memang akunya yang ceroboh. Menyelengkat sembarangan kaki sahabat kamu,” katanya dengan suaranya yang terdengar lemah lembut. Sekilas, aku melihat titikan air mata yang mengalir dari kedua kelopak mata Jessica. “Jangan menangis, dong! Kamu itu, kan, nggak sengaja, Lagi pula, Mella tuh, anaknya memang begitu! Gampang marah, gampang frustasi, emosinya kebal! Jadinya, gituh! Maafin Mella, ya! Aku yakin, kok, suatu saat Mella pasti bakal mengubah sifat jeleknya ini, menjadi yang baik,” hiburku. Jessica hanya mengangguk.
Di kelas…
     “Mell, Kamu kok jahat banget sih, sama Jessica! Jessica itu kan, enggak sengaja menyelengkat kaki kamu! Kamu kok marahnya sampai segitunya, sih? Nggak bagus tahu, marah-marah,” tanyaku setibanya di kelas. “Oooh…Kamu itu lebih membela si Jesica begok itu daripada aku, Sahabat kamu, gituh?” tanyanya dengan emosi yang menggila. “Bukan begitu, Mella! Aku cuman bilang, Dia itu nggak sengaja menyelengkat kaki kamu! Tapi, kamu marahnya kok, sampai segitunya, sih? Nggak bagus, kalau terlalu sering marah, nanti cepat tua!” ulangku lagi dengan sabarnya menghadapi sahabat yang sensitif seperti Mella gini. “Kamu itu disusuk apa, sih, Sama Jesica sampai membela Jessica seperti itu?  Harusnya kamu itu lebih membela aku, Bukan Jessica! PAHAM?” tanyanya ketus. Aku menghela napas, penuh kesabaran. “Mella…Bukan bermaksud membela Jessica atau siapa pun, tetapi ini hanyalah masalah ketidak sengajaan. Tidak patutlah kamu marah-marah heboh seperti tadi! Itu nggak bagus, Mell! Berpikir positif sedikitlah!” ujarku lembut. “HALAH! STOP, deh! Aku sudah tahu jawabannya. Kamu itu lebih membela Jessica daripada aku, Sahabat kamu sendiri! Lebih baik, persahabatan kita putus aja!” cetusnya dengan nada kasar dan menyebalkan, seraya mengibaskan rambut pirangnya, lalu pergi secepat kilat meninggalkan kelas. Aku yang melihatnya, hanya tersenyum sabar walau dalam hatiku tersimpan kemarahannya yang begitu menggila kepadanya. Tuhan...Tolong sabarkanlah hatiku, Untuk menghadapi seorang sahabat yang pemarah, Seperti Mella! Aku berharap, Engkau mau membantu diriku untuk mengubah sifat jelek sahabatku itu, menjadi yang baik! doaku dalam hati seraya mengelus dadaku yang tampak sangat berkecambuk ini.
     Selama jam pelajaran di sekolah berlangsung, Mella tidak menegur aku sama sekali. Jangankan menegur, melihatku saja, dia enggan dan cuek. Walau aku sudah berusaha semampu mungkin menyapanya, dia tetap saja membuang muka. Aku yang melihatnya hanya berpasrah. Saat Pelajaran Matematika…”Nona Destiny, Karena Anda tidak mengerjakan tugas dari saya, Anda saya hukum untuk berdiri di lapangan upacara sampai jam pelajaran saya habis! Cepat laksanakan!” ujar Mrs. White, dengan penuh kegalakan. Mella yang menghetaui dirinya disuruh ‘berjemur’ di bawah terik matahari, langsung kaget. Ekspresi mukanya benar-benar muram. “What??? Apa saya nggak salah dengar, Mrs. White Clorine?” tanya Mella dengan aksen lebay-nya, seraya mendekat ke arah Ms. White yang sedang duduk di kursi guru. “Yupp! Itu memang benar, Nona Pemalas! Cepat laksanakan!” ujar Mrs. White lagi sambil menunjuk ke arah lapangan upacara. “Apa? Berani-beraninya Anda, seorang guru menjuluki saya Nona Pemalas! Sok banget, Anda!” Mrs. White membetulkan letak kacamatanya, lalu berkata…”Loh, Memang benar, kan? Yang bernama Famella Destiny di sekolah ini adalah anak yang pemalas! Anak yang nilai ulangan hariannya dan nilai ulangan semester akhirnya selalu jeblok dan tidak pernah bagus! Anak yang selalu melalaikan tugas yang telah diberikan oleh guru-gurunya! Apa menurut kalian dugaan Mrs. White benar?” tanya Mrs. White memalingkan wajahnya kepada anak-anak yang tengah duduk diam. “Sangat benar Mrs. White…!” koar anak-anak serempak, dengan suara yang begitu keras dan nyaring, kecuali diriku. Aku lebih memilih diam seribu bahasa. Mella yang melihatnya, hanya mendengus kesal seraya mengibaskan rambut pirangnya dengan ringan. “HUH! Apa Mrs. White tidak tahu, Kalau aku, Adalah anak Mr. Robert Destiny, Pemegang saham sekolah ini?” “So?” Mrs. White hanya menanggapi sepele sambil memainkan spidol hitamnya. “Ya, so, Apa Mrs. White tidak takut akan diputuskan jabatannya sebagai seorang guru di sekolah ini? Apa Mrs. White tidak takut menjadi pengangguran? Mrs. White…Cara mengugurkan guru di sekolah ini itu gampang! Saya tinggal bilang ke Papa saya dan jika Papa saya menyetujui, maka habislah karier Mrs. White…,” kata Mella dengan penuh kelicikan. “Laporkan saja ke Papa kamu! Saya, tidak takut! Memang yang mengatur rezeki saya, Papa kamu apa? Yang mengatur rezeki saya itu Tuhan, Bukan Papa kamu! Paham?” kata Mrs. White enteng. Mella yang mendengar kata-kata itu langsung mendengus kesal, lalu berlari secepat kilat meninggalkan ruang kelas dengan penuh ketidak sopanan. Aku yang lagi-lagi melihat kejadian ini, hanya menggeleng-gelengkan kepala, seolah tak percaya sahabatku begitu tidak sopannya terhadap seorang guru.
     “Assalamu’alaikum, Ma!” salamku setibanya di rumah, sepulang sekolah. “Wa’alaikum salam! Eh, Debbie! Ya ampun, ternyata kamu sudah besar, ya! Tante kangen banget sama kamu,” sahut seseorang di rumah itu. Aku kaget. Tante Shela, adik kandung mamaku datang ke Inggris. “Tante Shela? Debbie kangen banget sama Tante!” ucapku seraya memeluk tubuh tanteku. Tanteku hanya tersenyum sambil memeluk tubuhku. “Mama mana, Tante? Kok tante ditinggal sendirian?” tanyaku sambil melepas pelukanku di pinggang Tante Shela. “Mama tadi ke supermarket sebentar, beli mie sama pasta gigi, Katanya habis!” jelas tanteku. Aku hanya manggut-manggut. “Tante, Debbie ke kamar dulu, ya! Mau ganti baju,” kataku sopan kepada Tante Shela. “Oke, Sayang! Habis itu, jangan lupa cuci tangan sama cuci kaki, shalat zuhur, dan makan siang…,” pesan tanteku. Aku hanya mengangguk mantap.
Usai makan siang…
     “Tante, Aku mau curhat, nih! Boleh nggak???” tanyaku sambil membolak-balik majalah remaja, yang tergeletak di meja tamu. Ya, di siang yang panas ini, aku hanya mengobrol berdua dengan tanteku. Mama, lagi istirahat di kamar, kecapekan habis belanja tadi. Papa masih bekerja di kantor, pulangnya masih nanti sore. Sementara Kak Chitra, juga masih sekolah. Pulangnya pun, sama seperti Papa, masih nanti sore. “Ummm…Curhat tentang apa, nih? Pacar, ya?” tebak tanteku sambil tersenyum canda kepadaku. “Iiih…Tante apaan, sih? Kok nyambungnya soal pacar, sih?” tanyaku seraya menyindir kesal tanteku. “Hehehe…Tante Shela cuman bercanda kok, Sayang! Sekarang kan, masalahnya curhat seperti itu lagi ngetren dibicarain anak-anak! Siapa tahu, kamu juga mau curhat tentang masalah gitu ke tante,” ucap tanteku tertawa lepas. “Umm…Ini bukan soal pacar, Tante! Ini tentang sahabatku, Mella. Dia itu, cantik sih, Tante! Tapi, sayang dia memiliki sebuah kekurangan yang nggak bagus. Yaitu, sifatnya yang egois, pemarah, dan emosinya gampang meledak! Suka bentak-bentakin anak-anak sama adiknya! Padahal, salahnya nggak fatal-fatal banget loh, Tan! Salahnya itu juga faktor ketidak sengajaan. Tapi, dianya emosinya kebal, Meledak-ledak kayak kompor!” ujarku. Tante Shela tertawa. “Memangnya seperti apa marahnya? Coba ceritakan ke tante!” pinta Tante Shela. “Kan, waktu itu kita berdua lagi mau sarapan di kantin. Nah, si Jessica, temanku enggak sengaja menyelengkat kaki Mella hingga orange juice yang dipegang Mella terjatuh dan cairan kental orange juice itu ikut tumpah ke baju putih Mella! Mella yang amat frustasi teriak-teriak kayak gini,’OH MY GOD…! Sialan banget sih, kamu! Bego! Aku nggak mau maafin kamu’. Gituh, Tante! Trus itu, Mella pernah habis dari Melbourne, Australia dan beli pulpen emas berkilau. Nah, waktu istirahat, Farrel enggak sengaja, menyenggol pulpen emas berkilau Mella hingga terjatuh dan patah! Mella-nya marah-marah dan memberi hukuman ke Farrel yaitu disuruh membelinya di tempatnya langsung dengan bentuk pulpen yang sama!” cerita Debbie sembari menyeruput segelas jus mangga dan mencomot crepe’s rasa stroberi. “Aku sih, memang nggak pernah ya, Tan, di kayak gituin! Tapi, aku kasihan sama teman-temanku yang lain, yang pada di galakin sama Mella!” lanjutku dengan muka lesu. “Oh, Begitu toh, Masalahnya! Tunggu sebentar, ya! Tante mau ambil sesuatu,” kata Tante Shela, beranjak menuju kamarku, tempat dimana Tante Shela menginap selama di Inggris. Tak lama, Tante Shela kembali ke ruang tamu dengan satu plastik pulpen glitter warna-warni. Ada yang warna hijau muda segar, pink tua, orange, ungu, biru cerah, dan warna-warni lainnya. “Tan, ini untuk apaan, sih? Kok Tante bawa-bawa pulpen glitter segala?” tanyaku sambil melihat satu per satu pulpen glitter tersebut dengan penuh kebingungan. “Deb, Pulpen glitter warna-warni ini, bisa meredakan amarah sahabat kamu! Begini caranya…,” Aku langsung menyela. “HAH?!? Gimana ceritanya? Pulpen glitter bisa meredakan amarah? Hahaha…Tante lucu juga, ya!” “Mmm…Coba kamu tulis sebaris kata tentang Mela. Mmm…Disini,” perintah Tante Shela. Aku langsung menulis sebaris kata tentang Mella di selembar kertas portofolio. ‘Aku sebel sama Mella! Habisnya, dia selalu buat anak-anak sekolah sedih karena mereka selalu dimarahi oleh Mella, dengan alasan yang tidak terlalu fatal… ,’ Selesai menulis, sebuah keanehan terjadi.  Dibawah tulisan yang barusan kutulis, terdapat sebuah kata yang ber-tuliskan menggunakan pulpen hijau muda segar. Tulisannya : ‘Bersabarlah dan terus menyadarkan Mella agar sifat jelek yang dimiliki oleh sahabatmu itu dapat berubah menjadi yang baik. Kalau cara itu masih gagal, maka, berilah pulpen glitter ini kepada Mella...’ “Tante...iii...inni...apaan?” tanyaku bergetar. “Nah, itulah! Apa yang kamu tulis, pasti pulpen ini akan menjawab. Tante dapatkan ini dari teman tante yang bekerja sebagai pesulap. Mmm...mulai besok, kamu kasih pulpen glitter ini, ke Mella, ya!” pinta Tante Shela sambil tersenyum manis kepadaku.
Keesokan harinya...
     “Hallo, Mell!” sapaku setibanya di dalam kelas seraya mendekati Mella yang sedang membaca buku Bahasa Inggris. “Hai..,” balasnya datar tanpa sedikit pun melihat wajahku. “Oke, Kalau masih ngambek sama aku gara-gara masalah kemarin, nggapapa, deh! Aku ikhlas, kok. Ini, aku cuma mau memberikanmu hadiah,” ujarku seraya menyodorkan se-plastik pulpen glitter warna-warni yang begitu menakjubkan itu, kepada Mella, My Best Friend! Mella menengok ke arah pulpen glitter, sesaat dia terpana. “Waah...Cantik bangeet pulpennya!” seru Mella beberapa saat kemudian. “Serius, Debb, Ini buat aku?” tanya Mella dengan penuh kesenangan sambil mengelus-elus plastik pulpen glitter itu. “Iya, serius, ini buat kamu! Coba deh, kamu tulis sebaris kata dengan pulpen glitter ini,” pinta Debbie. Mella mengangguk setuju sambil mengeluarkan notes-nya. Lalu, dia mulai menulis,’Mella, anak paling cantik di International Pervectory Junior High School...’ Pulpen itu lalu menjawab: ‘Jangan pernah sombong! Jangan pernah merasa dirimu cantik sebelum orang lain mengatakan. Cantik itu bukan karena fisik, tetapi karena hati! Kecantikan fisik itu tidak berguna, Jika kita mati, Kecantikan dari fisik kita, akan hilang, Akan hancur...Mella benar-benar terlonjak kaget. Hingga berbaris-baris kata yang ia tulis tentang kemolekan ataupun kesombongan dirinya, selalu ada saja jawaban dari pulpen glitter tersebut. Hingga akhirnya, Mella benar-benar luluh lalu berucap...”Selama ini, sepertinya aku terlalu sombong. Aku terlalu egois. Aku terlalu jahat kepada teman-temanku. Aku bukanlah anak yang baik! Bukan teman yang baik untuk teman-temanku. Perbuatanku, sungguh tercela! Mulai sekarang, aku akan mengubah sifat-sifat jelekku, menjadi yang bagus, menjadi yang lebih baik...,” ucapnya dengan pelan dan nada suara yang penuh penyesalan.
     And the ending story is be happy! Tiga bulan setelah itu, Mella tumbuh menjadi anak yang baik hati, penolong, jujur, setia kawan, serta sopan santun. Mella pun akhirnya disukai oleh teman-teman sekelasnya maupun teman-temannya yang lain. Mella yang dulu angkuh, pemarah, dan egois kini telah berubah menjadi Mella yang baik. Ini semua memang ajaib! Terima kasih kuucapkan untuk Glitter Warna-warni Pereda Marah! Kau telah cepat mengubah sifat sahabatku menjadi yang lebih baik! I Love You, So Much! ^_^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar