Sabtu, 31 Agustus 2013

Kisah Tak Sempurna


Lantunan nada romantis yang mengalun lembut masih terdengar di sepanjang kafe. Udara dingin yang menusuk dan suara petir yang memekakkan membuatnya merasa bosan untuk menunggu lebih lama. Ia memasukkan jari-jarinya ke dalam kantung jaketnya lalu sibuk memperhatikan air hujan yang turun secara berirama.
“Marsha.” Sebuah suara bariton memanggil namanya.
“Are you okay?”
“Not sure. Hujan masih belum berhenti, kapan bisa hunting fotonya?” Sebuah kamera Nikon tegeletak di meja mereka tak berdaya.
“Kalau hujan mau gimana lagi? Kita tunggu sebentar lagi, ya.” Cowok di sampingnya kemudian melipat tangannya di meja dan menatap Marsha sambil tersenyum hangat.
“Serius, aku benar-benar benci hujan!” gerutu Marsha kesal. Rencananya, mereka berdua akan memulai hari pertama liburan sekolah mereka dengan hunting fotografi, sebuah kegiatan yang sangat mereka sukai. Namun, mendadak rencana mereka gagal total akibat hujan yang tanpa permisi langsung mengguyur deras.
“Nikmatin ajalah hujannya. Musim hujan itu musim paling asyik, lho. Dingin tapi menghangatkan. Apalagi kalau kamu disamping aku.”
“Huh, kamu tuh bisanya cuma gombal!” Marsha kemudian mencubit lengan cowok itu dan memperhatikan rambutnya yang semakin hari semakin memanjang dan kulitnya yang semakin gelap. Wajahnya mungkin jauh dari kesan aristokrat seperti yang selama ini semua cewek idamkan. Wajahnya terkesan sangar namun hatinya sangat lembut tak terduga. Sejak pertama kali berjumpa beberapa waktu lalu, ada sesuatu yang mengusik  perhatian Marsha tentang cowok ini. Cowok ini mungkin lebih cocok jadi preman Tanah Abang ketimbang jadi pacar. Namun, entah mengapa cowok ini selalu membuatnya terbayang-bayang dan jatuh hati. Setidaknya sampai sekarang. Perasaannya masih belum berubah.
***
Namanya Banyu. Marsha mengenalnya di sebuah klub fotografi beberapa bulan lalu. Menurut sebagian besar orang, Banyu adalah orang yang menyeramkan. Namun, Marsha nggak gampang percaya dengan semua itu. Diam-diam, ia mulai menyelami karakter Banyu dan tahu sesuatu dibalik itu semua. Ia berasal dari keluarga broken home. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita dan tentu saja itu sangat melukai hati ibunya. Banyu tidak bisa menerima itu semua dan terus memberontak. Ia kemudian pergi dari rumahnya namun tetap mengontrol kondisi ibunya. Maka dari itu, sikap Banyu tiba-tiba berubah drastis. Dari yang suka nongkrong menjadi pendiam dan penyendiri. Dari yang rapi jadi berantakan. Trauma tentang keluarganya yang rusak masih sukar dilupakan olehnya. Marsha pun kemudian hadir untuk Banyu. Mengisi hari-hari Banyu yang sempat kosong dengan segenggam semangat yang menyatukan. Ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa ia jatuh cinta dengan Banyu. Banyu yang menurut orang adalah monster berbentuk manusia, berhasil meluluhkan hatinya. Marsha teringat percakapannya dengan Banyu saat mereka saling mengutarakan perasaan mereka masing-masing.
“Orang boleh mengatakan aku adalah manusia tolol di dunia ini. Tapi, percaya atau nggak aku jatuh cinta sama kamu. Kamu yang berbeda. Kamu yang punya kekuatan untuk melewati hidupmu sendiri.”
“Jatuh cinta itu memang aneh. Bisa terjadi pada siapa dan ke siapa. Aku juga nggak bisa membohongi perasaanku kalau aku juga suka sama kamu. Tapi aku berpikir, apa aku pantas memilikimu? Aku yang katanya orang seperti cowok berandal.” Marsha waktu itu diam saja sambil menangis. Banyu kemudian mengusap air matanya dan memeluknya dengan hangat. Sejak saat itu, mereka meresmikan hubungan mereka tanpa diketahui oleh siapa pun.
***
“MARSHA!” Belum sempat langkah kakinya mencapai halaman rumah, ayahnya sudah meneriakinya dari depan rumah. Sebuah tatapan bengis dan penuh kebencian mengarah ke dua pasang mata Banyu.
“Habis darimana saja kamu dengan orang ini?!” bentah ayahnya keras.
“Aku habis dari kafe, Yah sama Banyu. Rencananya tadi mau hunting tapi karena...”
“ALASAN! Sekarang kamu masuk! Dan kamu cowok berengsek, silahkan tinggalkan rumah kami!”
“AYAH! Jangan berbicara kasar dengan Banyu. Dia cowok yang baik, tidak seperti apa yang ayah pikirkan.” bela Marsha.
“Mata kamu dibutakan apa oleh dia, Sha? Lihat penampilannya. Urakan dan tidak tahu cara berpakaian dengan benar. Cowok seperti ini kamu bilang cowok baik-baik?” Ayahnya kemudian mendorong tubuhnya dan membuatnya tersungkur di lantai.
“Om boleh berbicara kasar dengan saya tapi jangan berlaku kasar dengan anak Om sendiri.” ujar Banyu seraya menangkap tubuh Marsha.
“Lebih baik kamu keluar sekarang juga!” Dengan paksa, Ayah Marsha menarik Banyu keluar dari pagar rumah. Marsha menggamit tangan Banyu namun keburu ditepis dengan ayahnya.
“Banyu.” Marsha berkata lirih.
Don’t worry, Dear. I’m fine.” Banyu kemudian menatap Marsha sesaat lalu tersenyum dan pergi.
***
“Oalah, Nak. Dari dulu ayah sama ibu sudah melarang kamu untuk berhubungan dengan orang itu. Lihat kan, ayah sekarang jadi marah besar!” kata Ibu sambil memangku anak kesayangannya yang sedang menangis.
“Tapi, Bu. Aku cinta sama Banyu. Tampangnya mungkin agak berandalan tapi aslinya dia baik.” kata Marsha sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Kamu baru kelas 1 SMA, Sha! Ngerti apa kamu tentang cinta?” bentak ayahnya dari luar.
“Lagipula kamu bisa mendapatkan cowok yang lebih baik dari Banyu. Kamu anak yang baik, sudah sepantasnya mendapatkan yang baik juga.”
“Ayah tidak mau tahu! Kamu harus memilih. Tetap mempertahankan Banyu atau keluar dari rumah? Ayah nggak ingin punya anak yang berpacaran dengan cowok bertampang berandal!” Hati Marsha tiba-tiba merasa nyeri. Ia merasakan sakit yang lebih dari rasa sakit yang dirasakan batinnya.
***
Jam dua belas telah berdentang sejak lima menit yang lalu. Ia berdiri di antara dua bingkai foto di hadapannya. Pikirannya terasa ruwet memikirkan suatu hal rumit.
“Dalam hidup kadang dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit. Aku nggak tahu harus memilih siapa. Aku benar-benar egois!” Ia menatap bingkai foto itu dengan lekat dan memutar otaknya, mengingat memori penting bersama orang-orang dalam bingkai foto tersebut. Sebuah memori yang nyaris tak terlupakan olehnya. Semuanya terasa indah dan mengalir begitu saja. Lalu, seperti adegan film semuanya berhenti. Ia kembali membuka matanya yang semula terpejam. Ia tarik napasnya lalu menyentuh salah satu bingkai tersebut. Ia berharap semoga pilihannya tak mengecewakan hatinya. Ia menutup salah satu bingkai foto tersebut diselingi dengan tangis bercampur rasa sakit yang menggelora di dadanya.
“Maaf.” Tubuhnya kemudian merosot di lantai. Tulangnya terasa pilu tak sanggup untuk berdiri dan mengungkapkan kebenaran yang ada.
***
Mereka masih membisu sejak sepuluh menit yang lalu bertemu. Taman yang tampak ramai membuat mereka sama sekali tidak berkutik sedikit pun. Mereka tetap diam, bergeming.
“Aku minta maaf soal kemarin.” Marsha akhirnya bersuara.
“Nggak apa-apa.” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir Banyu.
“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah menyesal telah memilikimu. Meski tampangmu berandalan, aku tetap sayang sama kamu. Kamu yang kuat dan bisa menjalani hidupmu dengan baik. Tapi,” Marsha menyapukan pandangannya sesaat ke arah taman.
“Kalau disuruh memilih antara kamu dan orangtuaku, Aku lebih memilih orangtuaku. Mereka adalah segalanya buatku. Maaf, aku nggak bisa mempertahankan hubungan ini.” Banyu sudah menduga Marsha akan mengatakan ini padanya. Meski sakit, Banyu harus lapang menerimanya.
“Aku mungkin memang bukan cowok yang tepat untuk kamu, Sha. Itu pilihan hatimu, aku nggak bisa melarang. Semoga pilihamu tepat.” Marsha kemudian memiringkan wajahnya, menahan tangis. Langit seketika menjadi kelabu. Mereka kemudian beranjak pergi namun Banyu menarik tangan Marsha sesaat.
“Terima kasih untuk semuanya.” Marsha mengangguk sambil tersenyum sedih. Mereka kemudian berpisah ke arah yang berlawanan. Marsha menatap bayangan Banyu yang sudah jauh meninggalkannya. Hatinya sangat pedih menyaksikan itu semua. Ia tak boleh menangis, harus tegar menghadapi semua ini. Dibawah rinai gerimis hujan, Marsha terduduk kaku di atas bangku yang tadi. Mencium aroma tanah basah tanpa kehangatan. Ia disana sendirian. Tak tahu sampai kapan akan disana. Ia tak ingin merencanakannya.
‘Seperti layaknya sebuah kisah semuanya tak selalu berakhir sempurna. Karena di dunia memang nggak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar