Lantunan
nada romantis yang mengalun lembut masih terdengar di sepanjang kafe. Udara
dingin yang menusuk dan suara petir yang memekakkan membuatnya merasa bosan
untuk menunggu lebih lama. Ia memasukkan jari-jarinya ke dalam kantung jaketnya
lalu sibuk memperhatikan air hujan yang turun secara berirama.
“Marsha.”
Sebuah suara bariton memanggil namanya.
“Are
you okay?”
“Not
sure. Hujan masih belum berhenti, kapan bisa hunting fotonya?” Sebuah kamera
Nikon tegeletak di meja mereka tak berdaya.
“Kalau
hujan mau gimana lagi? Kita tunggu sebentar lagi, ya.” Cowok di sampingnya
kemudian melipat tangannya di meja dan menatap Marsha sambil tersenyum hangat.
“Serius,
aku benar-benar benci hujan!” gerutu Marsha kesal. Rencananya, mereka berdua
akan memulai hari pertama liburan sekolah mereka dengan hunting fotografi,
sebuah kegiatan yang sangat mereka sukai. Namun, mendadak rencana mereka gagal
total akibat hujan yang tanpa permisi langsung mengguyur deras.
“Nikmatin
ajalah hujannya. Musim hujan itu musim paling asyik, lho. Dingin tapi
menghangatkan. Apalagi kalau kamu disamping aku.”
“Huh,
kamu tuh bisanya cuma gombal!” Marsha kemudian mencubit lengan cowok itu dan
memperhatikan rambutnya yang semakin hari semakin memanjang dan kulitnya yang
semakin gelap. Wajahnya mungkin jauh dari kesan aristokrat seperti yang selama
ini semua cewek idamkan. Wajahnya terkesan sangar namun hatinya sangat lembut
tak terduga. Sejak pertama kali berjumpa beberapa waktu lalu, ada sesuatu yang
mengusik perhatian Marsha tentang cowok
ini. Cowok ini mungkin lebih cocok jadi preman Tanah Abang ketimbang jadi
pacar. Namun, entah mengapa cowok ini selalu membuatnya terbayang-bayang dan
jatuh hati. Setidaknya sampai sekarang. Perasaannya masih belum berubah.
***
Namanya
Banyu. Marsha mengenalnya di sebuah klub fotografi beberapa bulan lalu. Menurut
sebagian besar orang, Banyu adalah orang yang menyeramkan. Namun, Marsha nggak
gampang percaya dengan semua itu. Diam-diam, ia mulai menyelami karakter Banyu
dan tahu sesuatu dibalik itu semua. Ia berasal dari keluarga broken home. Ayahnya menikah lagi dengan
seorang wanita dan tentu saja itu sangat melukai hati ibunya. Banyu tidak bisa
menerima itu semua dan terus memberontak. Ia kemudian pergi dari rumahnya namun
tetap mengontrol kondisi ibunya. Maka dari itu, sikap Banyu tiba-tiba berubah
drastis. Dari yang suka nongkrong menjadi pendiam dan penyendiri. Dari yang
rapi jadi berantakan. Trauma tentang keluarganya yang rusak masih sukar
dilupakan olehnya. Marsha pun kemudian hadir untuk Banyu. Mengisi hari-hari
Banyu yang sempat kosong dengan segenggam semangat yang menyatukan. Ia tak bisa
membohongi perasaannya sendiri bahwa ia jatuh cinta dengan Banyu. Banyu yang
menurut orang adalah monster berbentuk manusia, berhasil meluluhkan hatinya.
Marsha teringat percakapannya dengan Banyu saat mereka saling mengutarakan
perasaan mereka masing-masing.
“Orang
boleh mengatakan aku adalah manusia tolol di dunia ini. Tapi, percaya atau
nggak aku jatuh cinta sama kamu. Kamu yang berbeda. Kamu yang punya kekuatan
untuk melewati hidupmu sendiri.”
“Jatuh
cinta itu memang aneh. Bisa terjadi pada siapa dan ke siapa. Aku juga nggak
bisa membohongi perasaanku kalau aku juga suka sama kamu. Tapi aku berpikir,
apa aku pantas memilikimu? Aku yang katanya orang seperti cowok berandal.”
Marsha waktu itu diam saja sambil menangis. Banyu kemudian mengusap air matanya
dan memeluknya dengan hangat. Sejak saat itu, mereka meresmikan hubungan mereka
tanpa diketahui oleh siapa pun.
***
“MARSHA!”
Belum sempat langkah kakinya mencapai halaman rumah, ayahnya sudah meneriakinya
dari depan rumah. Sebuah tatapan bengis dan penuh kebencian mengarah ke dua
pasang mata Banyu.
“Habis
darimana saja kamu dengan orang ini?!” bentah ayahnya keras.
“Aku
habis dari kafe, Yah sama Banyu. Rencananya tadi mau hunting tapi karena...”
“ALASAN!
Sekarang kamu masuk! Dan kamu cowok berengsek, silahkan tinggalkan rumah kami!”
“AYAH!
Jangan berbicara kasar dengan Banyu. Dia cowok yang baik, tidak seperti apa
yang ayah pikirkan.” bela Marsha.
“Mata
kamu dibutakan apa oleh dia, Sha? Lihat penampilannya. Urakan dan tidak tahu
cara berpakaian dengan benar. Cowok seperti ini kamu bilang cowok baik-baik?”
Ayahnya kemudian mendorong tubuhnya dan membuatnya tersungkur di lantai.
“Om
boleh berbicara kasar dengan saya tapi jangan berlaku kasar dengan anak Om
sendiri.” ujar Banyu seraya menangkap tubuh Marsha.
“Lebih
baik kamu keluar sekarang juga!” Dengan paksa, Ayah Marsha menarik Banyu keluar
dari pagar rumah. Marsha menggamit tangan Banyu namun keburu ditepis dengan
ayahnya.
“Banyu.”
Marsha berkata lirih.
“Don’t worry, Dear. I’m fine.” Banyu
kemudian menatap Marsha sesaat lalu tersenyum dan pergi.
***
“Oalah,
Nak. Dari dulu ayah sama ibu sudah melarang kamu untuk berhubungan dengan orang
itu. Lihat kan, ayah sekarang jadi marah besar!” kata Ibu sambil memangku anak
kesayangannya yang sedang menangis.
“Tapi,
Bu. Aku cinta sama Banyu. Tampangnya mungkin agak berandalan tapi aslinya dia baik.”
kata Marsha sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Kamu
baru kelas 1 SMA, Sha! Ngerti apa kamu tentang cinta?” bentak ayahnya dari
luar.
“Lagipula
kamu bisa mendapatkan cowok yang lebih baik dari Banyu. Kamu anak yang baik,
sudah sepantasnya mendapatkan yang baik juga.”
“Ayah
tidak mau tahu! Kamu harus memilih. Tetap mempertahankan Banyu atau keluar dari
rumah? Ayah nggak ingin punya anak yang berpacaran dengan cowok bertampang
berandal!” Hati Marsha tiba-tiba merasa nyeri. Ia merasakan sakit yang lebih
dari rasa sakit yang dirasakan batinnya.
***
Jam
dua belas telah berdentang sejak lima menit yang lalu. Ia berdiri di antara dua
bingkai foto di hadapannya. Pikirannya terasa ruwet memikirkan suatu hal rumit.
“Dalam
hidup kadang dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit. Aku nggak tahu harus
memilih siapa. Aku benar-benar egois!” Ia menatap bingkai foto itu dengan lekat
dan memutar otaknya, mengingat memori penting bersama orang-orang dalam bingkai
foto tersebut. Sebuah memori yang nyaris tak terlupakan olehnya. Semuanya
terasa indah dan mengalir begitu saja. Lalu, seperti adegan film semuanya
berhenti. Ia kembali membuka matanya yang semula terpejam. Ia tarik napasnya
lalu menyentuh salah satu bingkai tersebut. Ia berharap semoga pilihannya tak
mengecewakan hatinya. Ia menutup salah satu bingkai foto tersebut diselingi
dengan tangis bercampur rasa sakit yang menggelora di dadanya.
“Maaf.”
Tubuhnya kemudian merosot di lantai. Tulangnya terasa pilu tak sanggup untuk
berdiri dan mengungkapkan kebenaran yang ada.
***
Mereka
masih membisu sejak sepuluh menit yang lalu bertemu. Taman yang tampak ramai
membuat mereka sama sekali tidak berkutik sedikit pun. Mereka tetap diam,
bergeming.
“Aku
minta maaf soal kemarin.” Marsha akhirnya bersuara.
“Nggak
apa-apa.” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir Banyu.
“Sampai
kapan pun aku nggak akan pernah menyesal telah memilikimu. Meski tampangmu
berandalan, aku tetap sayang sama kamu. Kamu yang kuat dan bisa menjalani
hidupmu dengan baik. Tapi,” Marsha menyapukan pandangannya sesaat ke arah
taman.
“Kalau
disuruh memilih antara kamu dan orangtuaku, Aku lebih memilih orangtuaku.
Mereka adalah segalanya buatku. Maaf, aku nggak bisa mempertahankan hubungan
ini.” Banyu sudah menduga Marsha akan mengatakan ini padanya. Meski sakit,
Banyu harus lapang menerimanya.
“Aku
mungkin memang bukan cowok yang tepat untuk kamu, Sha. Itu pilihan hatimu, aku
nggak bisa melarang. Semoga pilihamu tepat.” Marsha kemudian memiringkan
wajahnya, menahan tangis. Langit seketika menjadi kelabu. Mereka kemudian
beranjak pergi namun Banyu menarik tangan Marsha sesaat.
“Terima
kasih untuk semuanya.” Marsha mengangguk sambil tersenyum sedih. Mereka
kemudian berpisah ke arah yang berlawanan. Marsha menatap bayangan Banyu yang
sudah jauh meninggalkannya. Hatinya sangat pedih menyaksikan itu semua. Ia tak
boleh menangis, harus tegar menghadapi semua ini. Dibawah rinai gerimis hujan,
Marsha terduduk kaku di atas bangku yang tadi. Mencium aroma tanah basah tanpa
kehangatan. Ia disana sendirian. Tak tahu sampai kapan akan disana. Ia tak
ingin merencanakannya.
‘Seperti layaknya sebuah kisah
semuanya tak selalu berakhir sempurna. Karena di dunia memang nggak ada yang
sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar