Pagi
menjelang. Matahari mulai menampakkan wajahnya di baris pesona langit biru yang
sangat cerah dengan dipadukan sinarnya yang begitu menghangatkan. Hembusan
angin pagi pun mulai terasa menyejukkan jelaga jiwa dan melengsanakan hati yang
lagi gundah. Burung-burung pun tampak berterbangan membuat cakrawala
khatulistiwa pagi itu menjadi sangat indah dan membahagiakan.
Suasana
alam memang sangat mencerahkan, tetapi, tidak untuk Marissa. Walaupun suasana
diluar sangat cerah tetapi suasana hatinya sedang tidak cerah mengingat banyaknya
berbagai macam masalah yang dihadapinya. Diaduk-aduknya terus nasi goreng
hangat yang tampak lezat di hadapannya. Namun, ia tidak nafsu makan meningat
segala desakan maupun paksaan mamanya yang membuatnya capek dan lelah
mendengarnya. ‘Pokoknya kamu harus jadi
anak pintar! Berprestasi. Minimal juara kelas. Mama tidak ingin punya anak
pemalas dan bodoh. Karena itu sama saja merusak reputasi dan nama baik mama di
perusahaan sebagai seorang manager,’ itu yang selalu mamanya ucapkan setiap
hari sehingga membuat gadis itu capek dan muak untuk mendengarnya. Reputasi,
nama baik, karier, hanya itu yang dikejar oleh mamanya tanpa memikirkan anak
gadisnya yang tengah dibuat pusing olehnya.
“Non
Marissa...dimakan dong, nasi gorengnya. Jangan diaduk-aduk saja. Apa masakan
bibi tidak enak?” tegur Bi Ningsih lembut.
“Oh...ehmm...tidak
kok, Bi, enak masakan bibi. Marissa hanya malas sarapan aja,” kata Marissa
buyar dari lamunannya.
“Dimakan
dong, Non! Nanti Non Marissa bisa sakit, lho. Kalau Non Marissa sakit entar
bibi juga yang repot,”
“Ehm,
iya deh, Bi. Ini Marissa makan nasi gorengnya,” ujar Marissa mulai menyendok
nasi goreng ke mulutnya.
Usai
sarapan pagi dilihatnya sang mama baru bangun dari tidurnya dan menuju meja
makan untuk mengambil segelas susu hangat. Sang mama bersikap acuh tak acuh
seolah tak peduli dengan keberadaan anaknya.
“Ma...,”
Marissa membuka awal pembicaraan.
“Ada
apa? Kalau mau ngomong cepat. Mama mesti buru-buru mandi terus ke kantor. Hari
ini mama harus menemui klien mama,” ujar mamanya ketus. Marissa menatap mamanya
sedih sementara mamanya seolah membuang muka padanya. Bi Ningsih hanya bisa
menitikkan air mata melihat Marissa yang diperlakukan tak acuh oleh sang mama.
“Nggak,
Ma. Marissa hanya pengen pamit berangkat sekolah,” kata Marissa. Mamanya
mengulurkan tangannya sambil meneguk segelas susu dan masih tetap membuang muka
kepada anaknya itu. Marissa kemudian menyalami tangan mamanya dengan sopan lalu
kemudian segera beranjak mengambil tas ranselnya dan berangkat menuju sekolah.
“Hei!
Ternyata Nona Stupid sudah datang,” teriak beberapa siswa seketika Marissa baru
saja tiba di depan kelasnya. Marissa hanya menunduk menahan air matanya yang
hampir jatuh. Sehari-harinya di sekolah Marissa memang dijuluki Nona “Stupid”.
Mungkin dikarenakan nilainya yang jelek dan selalu dibawah standar SKBM
(Standar Ketuntasan Belajar Siswa).
“Apa-apaan
sih kalian. Kalian emang mau apa dikatain kayak gitu juga, Hah?!?” bela Regita,
sahabat baik Marissa. Anak-anak satu kelas langsung mengunci mulut.
“Yuk,
keluar kelas! Disini tidak aman buatmu,” ajak Regita seraya menggandeng tangan Marissa
keluar kelas.
“Ta,
mungkin aku adalah manusia paling bodoh yang ada di dunia ini. Jadinya sangat
pantas aku dijuluki anak-anak Nona Stupid,” ujar Marissa saat di kantin.
“Kamu
jangan berkata seperti itu, Marissa! Kamu tidak bodoh. Kamu hanya banyak
pikiran. Pikiranmu hanya terpusat pada keluargamu yang lagi broken home dan kata-kata mamamu yang
membuatmu capek dan muak,” ujar Regita lembut.
“Jangan
terus berlarut-larut dalam kesedihan. Jangan pikirkan tentang broken home, perceraian ayah dan mamamu.
Tataplah masa depanmu, Marissa! Berusaha untuk mewujudkan kata-kata mamamu.
Kalau kamu sudah berusaha semaksimal dan semampu mungkin pasti mamamu akan
bangga walaupun usahamu masih gagal,”
“Itu
tidak mungkin terjadi, Regita...,” potong Marissa.
“Kenapa
tidak mungkin? Aku yakin cepat atau lambat mamamu pasti akan sadar. Makanya
kamu berusaha dulu menjadi yang terbaik seperti apa yang mamamu inginkan,” ujar
Regita.
“Makasih
ya, Ta! Kamu sahabatku yang paling baik. Aku heran, kenapa kamu mau berteman
denganku? Padahal aku ini kan bodoh dalam pelajaran tidak sepertimu yang pandai
dan aktif dalam organisasi sekolah,”
“Karena
dari awal aku bertemu denganmu aku yakin kamu bukan orang yang bodoh seperti
apa yang anak-anak bicarakan. Namun, kamu orang yang hebat dengan segala
kesabaranmu menghadapi karakter mamamu yang seperti itu. Yah, walaupun
kadang-kadang kamu menangis juga, tetapi, kamu tetap the bestlah!” ujar Regita.
Kedua sejoli sahabat itu kemudian saling pandang lalu berpelukan dengan erat
penuh kehangatan.
Sore
hari, sepulang sekolah, Marissa melihat sebuah mobil Merchedes Benz berwarna
hitam tampak terparkir di luar pagar rumahnya. Marissa cepat-cepat menyadari
karena mobil yang terparkir itu adalah mobil ayahnya. Segera ia membuka pagar
rumahnya dan berlari menuju ruang tamu. Dilihatnya disana sang ayah sedang
terduduk, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.
“Ayah?!?”
Marissa berteriak.
“Sayang,
Ayah kangen kamu!” Sang ayah kemudian berlari dan memeluk anaknya dengan erat.
“Ayah,
jangan pergi! Temani Marissa disini aja. Marissa tidak ada temannya. Mama
selalu tidak memedulikan Marissa, Mama lebih mementingkan kariernya daripada
Marissa,” ujar Marissa dalam pelukan ayahnya.
“Ayah
juga inginnya seperti itu, Sayang. Namun, itu sudah tidak bisa lagi. Ayah dan
mama telah bercerai. Kamu mengertilah dengan kondisi ini, Sayang,” ujar sang ayah.
Marissa menangis.
“Kenapa
mesti bercerai, Ayah? Apakah keluarga kita yang dulu harmonis dan rukun tidak
bisa menyatu kembali? Aku kangen masa itu. Ayah selalu menemaniku belajar dan
mengajariku bermain scrabble ataupun
catur. Aku kangen mama yang dulu selalu membacakan dongeng sebelum tidur
untukku dan menyajikan masakan lezat dan istimewa untuk keluarga. Aku kangen
itu, Ayah...,” Sang ayah hanya diam. Tidak tahu kata apa yang harus dikatakan.
Sudah sedih hatinya mendengarkan keluh kesah anak gadisnya yang manis dan haus
kasih sayang ini.
“Sudah
kamu jangan menangis, Sayang. Kamu harus kuat dan tangguh menghadapi semuanya.
Kalau kamu terus-terusan menangis dan bersedih kamu sama saja mengecewakan hati
ayah. Jangan menangis ya...,” kata sang ayah menghapus air mata anaknya yang
menetes. Marissa hanya tersenyum.
“Oh,
ya, Sayang. Ini ayah pamit, ya. Besok ayah akan berangkat ke amerika. Ayah akan
bertugas disana selama dua tahun,” ujar sang ayah.
“Dua
tahun? Lama sekali,” keluh Marissa.
“Nanti
ayah pasti akan secepatnya pulang, kok. Tenang saja. Kamu kan juga bisa
kontak-kontakan dengan ayah selama ayah disana,” jelas ayah.
“Tapi
ayah tidak bakal melupakan Marissa, kan?”
“Ya,
tidak, dong. Kamu kan putri ayah yang paling cantik dan selalu ayah sayangi.
Masa ayah lupa sama anak cantiknya ini,”
“Apa-apaan
ini? Marissa masuk kamar!” Tiba-tiba, datanglah mama dengan wajah yang galak
dan tatapan tajam.
“Tapi,
ma...Marissa masih pengen sama ayah!”
“Tidak.
Pokoknya masuk! Kamu jangan bandel, nurut apa kata mama!” tegas mama.
“Apa-apaan
sih kamu membentak Marissa? Apa salahnya dia ingin bertemu denganku sebelum
hari keberangkatanku?” ujar ayah marah.
“Sudahlah.
Kamu tidak usah mencari gara-gara denganku. Apa kamu lupa bahwa hak asuh anak
itu jatuhnya ke tanganku?” kata mama.
“Iya,
Aku tahu. Namun, kamu tidak pantas membentak Marissa seperti itu. Marissa itu
kan, anak kita. Kamu ini bagaimana, sih. Bukan seorang ibu yang baik,”
“Diamlah!”
“Kamu
yang diam...,”
Marissa
kembali melihat pertengkaran pahit itu. Karena tidak kuat, Marissa segera
berlari menaiki tangga menuju kamarnya dengan rasa sedih dan menusuk yang amat
sangat.
Esok
paginya, Marissa baru terbangun dengan wajahnya yang sembab karena air matanya
yang terus mengalir sedari tadi malam. Segera ia menyingkirkan selimutnya dan
beranjak membuka jendela kamarnya.
“Selamat
pagi, Non Marissa!” sapa Bi Ningsih hangat yang tiba-tiba membuka pintu kamar
Marissa.
“Pagi,
Bi,” jawab Marissa singkat.
“Maaf
ya, bibi masuk tanpa permisi. Habisnya, dari tadi malam Non Marissa belum
makan. Jadinya bibi buru-buru masuk kesini untuk mengantar makanan,” kata Bi
Ningsih sembari meletakkan nampan berisi makanan lezat di meja dekat lampu
tidur.
“Terima
kasih ya, Bi. Andai mama seperti bibi,” ujar Marissa dengan raut wajah sedih.
Bi Ningsih kemudian mendekat ke arah Marissa lalu memeluknya.
“Non
Marissa yang sabar, ya! Bibi yakin mama pasti akan secepatnya sadar dan kembali
lagi seperti dulu. Mama itu hanya butuh waktu untuk mengembalikan kondisi
seperti semula. Pokoknya sekarang ini Non Marissa yang sabar aja dan tegar
menghadapi semua ini,” Marissa tak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum dan
senang memiliki seorang bibi yang sangat pengertian kepadanya.
Pukul
sembilan pagi tepat. Segera Marissa menyuruh sopirnya berjalan mengemudikan
mobil menuju bandara. Ia ingin menyusul ayahnya ke bandara dan melihat kembali
ayahnya untuk terakhir kalinya.
“Pak!
Cepat jalan ke bandara. Saya ingin menyusul ayah saya,”
“Baik,
Non,” ujar sopirnya. Hanya lima menit waktu yang ditempuh menuju bandara.
Akhirnya, ia pun tiba di bandara.
“Bapak
pulang aja ke rumah. Nanti pulangnya saya tinggal naik taksi,” ujar Marissa
kepada sopirnya.
“Apakah
tidak saya tunggui saja, Non?”
“Tidak
usah, Pak. Saya bisa sendiri,” Sang sopir kemudian menuruti kata Marissa dan
meninggalkannya. Marissa segera bergegas menuju ruang waiting room, tetapi sebelum masuk dicegat oleh petugas.
“Maaf,
Adik ini mau kemana? Bisa saya lihat tiketnya?” tanya petugas itu.
“Aduh,
Pak. Saya bukan penumpang. Saya hanya ingin menyusul ayah saya. Ayah saya
penerbangan ke amerika,” jelas Marissa dengan gelisah.
“Oh,
tidak bisa. Harus punya tiket dulu baru boleh masuk. Ayah adik penerbangan ke amerika
bagian mana? Penerbangan ke amerika semuanya sudah berangkat kecuali tujuan Los
Angeles, statusnya masih check-in,” Marissa
bertambah bingung. Ia lupa menanyakan kepada ayahnya penerbangan amerika bagian
mana.
“Aduh,
saya tidak tahu, Pak, tapi, saya ingin masuk ke dalam. Siapa tahu ada ayah saya
di dalam,” gerutu Marissa.
“Tidak
bisa! Harus punya tiket dulu baru boleh masuk. Adik jangan nekat nanti saya
laporkan ke pihak keamanan, lho,” ancam petugas itu.
“Tapi,
saya mau masuk, Pak!”
“Tidak
bisa! Harus punya tiket dulu!”
“Saya
mohon, Pak. Izinkan saya masuk,”
“Tidak!
Saya tidak mengizinkan,”
Akhirnya,
Marissa mengalah. Dengan langkah lemas ia mulai meninggalkan sang petugas. Ia
duduk di sekitar pinggiran bandara sembari menangis sendu menyebut nama ayahnya.
Namun, tidak ada yang peduli. Semua sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
Sungguh tragis sekaligus menyedihkan bila dirasakan, namun, Marissa tetap
berusaha kuat melewatinya.
Setelah
puas menangis, Marissa segera berdiri dan merapikan pakaiannya yang sedikit
kusut. Hatinya kini tegar menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah pergi ke amerika
dan mereka akan berjumpa lagi dua tahun mendatang. Waktu yang cukup lama, namun
ini sudah menjadi titik keputusan ayahnya. Perlahan, Marissa mulai meninggalkan
bandara dan berjalan menuju arah yang tidak dikenalnya. Hari ini, ia memutuskan
untuk tidak kembali ke rumahnya karena ia ingin mencari suasana baru, sebuah
suasana yang mungkin saja mampu menenangkan gejolak jiwanya dan hatinya yang
kini lagi rapuh.
Satu
jam sudah ia berjalan menuju arah ke sebuah desa dan lingkungan yang terpencil
yang ia dapatkan hanyalah sebuah sia-sia. Ia memutuskan untuk pulang namun
tiba-tiba...
“Lamin talungsur la nama rantaunya, nyadi
susuran jaman ka jaman...,”
“Indah
sekali suaranya! Siapa gerangan yang sedang menyanyi itu?” Marissa merasa
terkagum. Segera ia mencari asal suara itu. Lalu, ia kemudian menemukan sesosok
gadis berambut panjang sedang menyanyi di atas rumput persawahan. Pelan-pelan,
Marissa mendekatinya kemudian dengan tepat ia duduk di samping gadis itu hingga
gadis itu selesai menyanyi.
“Wow,
bagus sekali suaramu!” puji Marissa kepada gadis itu.
“Terima
kasih. Maaf kula siapa?” tanya gadis
itu tersenyum.
“Kula?”
Marissa bingung.
“Maksudku,
Siapa kamu?” tanya gadis itu lagi.
“Oh,
perkenalkan namaku Marissa. Penggemar berat suaramu yang begitu merdu,”
“Aku
Rindu. Terima kasih atas pujiannya. Aku senang sekali,” ujar gadis bernama
Rindu itu sembari tersenyum dengan ramahnya.
“Apa
nama lagu yang barusan kamu bawakan?” tanya Marissa penasaran.
“Lamin
talungsur. Lagu khas dari Kaltim. Oh, ya, kamu turis?” tanya Rindu.
“Bukan.
Aku orang Kaltim asli lebih tepatnya dari Balikpapan,” jelas Marissa.
“Masa
kamu tidak tahu lagu Lamin Talungsur ini? Lagu ini sangat terkenal lho di Kaltim,”
“Oh,
ya? Aku tidak tahu. Aku memang sedikit kurang memahami budaya yang ada di Kaltim
ini,” cengir Marissa.
“Tidak
apa-apa. Kamu pasti orang kota. Aku memahami orang kota yang tidak tahu banyak
dengan budaya Kaltim,” ujar Rindu. Marissa hanya tersenyum. Sesaat Marissa baru
menyadari ada keganjalan dengan Rindu. Sedari tadi, Rindu tidak menatapnya.
Pandangannya lurus ke depan. Apakah Rindu seorang tunanetra?
“Maaf
jika sedikit menyinggung, Apakah kamu seorang tunanetra?” tanya Marissa
hati-hati.
“Iya.
Aku seorang tunanetra,” jawab Rindu pelan.
“Maaf
ya jika pertanyaanku sedikit membuatmu sakit hati,”
“Tidak
apa-apa. Aku sudah terbiasa. Lagi pula, aku memang seorang tunanetra, kan?
Kalau itu fakta buat apa aku sakit hati?” ucap Rindu. Marissa terdiam sesaat.
Dalam hatinya ia berkata, ‘Tangguh sekali
gadis ini! Walau seorang tunanetra ia tak malu dengan kekurangannya itu,’
“Hei,
Kenapa diam? Mau tidak ke rumahku? Aku ingin memperkenalkan kepadamu tentang salah
satu budaya yang ada di Kaltim ini,” kata Rindu membuyarkan suasana kediaman.
“Oh,
boleh sekali! Kelihatannya sangat seru,” Dengan langkah penasaran, Marissa
mengikuti langkah Rindu menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, ia sangat
menikmati udara siang begitu hangat dan tidak terlalu terik dan padi yang
tampak tumbuh di area persawahan ini. Sesampainya Marissa di rumah Rindu yang
begitu sederhana, Marissa tampak terkesima. Ia melihat tumpukan batik tulis
khas Kaltim yang tampak tersusun rapi di sebuah rak dengan wangi batik yang
begitu khas.
“Wah,
batik tulis ini indah sekali! Kamu yang membuatnya?” tanya Marissa
terheran-heran.
“Iya,
aku yang membuatnya. Batik tulis ini selalu kujual setiap harinya guna sebagai
tambahan SPP sekolahku,” jawab Marissa.
“Bagaimana
kalau kamu mengajariku cara membuat batik tulis?”
“Baiklah,”
Rindu mengiyakan.
“Langkah
pertama adalah membuat desain batik diatas kain mori dengan pensil atau biasa
disebut molani,”
“Kemudian
langkah keduanya adalah menggunakan
canting berisi lilin cair untuk melapisi motif yang diinginkan. Tujuannya agar
saat pencelupan bahan ke dalam larutan pewarna bagian yang diberi lapisan lilin
tidak terkena. Setelah cukup kering, celupkan kain ke dalam larutan pewarna,”
“Kemudian
langkah terakhir atau biasa disebut nglorot dimana kain yang telah berubah
warna direbus dengan air panas. Tujuannya untuk menghilangkan lapisan lilin
sehingga motif yang digambarkan dapat terlihat jelas,” urai Rindu secara
perlahan.
Marissa
mengikutinya secara perlahan. Walaupun pertamanya sedikit belepotan, namun,
hasil akhirnya jauh lebih bagus dari sebelumnya.
“Akhirnya,
selesai juga! Bagaimana menurutmu?” tanya Marissa.
“Bagus
dan tampak menarik. Hanya kurang rapi saja,” jawab Rindu.
“Bolehkah
aku membawa batik tulis buatanmu ini? Aku ingin tunjukkan ini kepada
orangtuaku,” pinta Marissa.
“Boleh.
Kamu dapat mengambilnya tiga. Simpanlah ini semua. Anggaplah kenang-kenangan
dariku,”
“Kamu
hebat ya, Rindu. Sudah dapat menyayanyi dapat membuat batik tulis lagi! Aku
kagum padamu. Zaman sekarang, boro-boro anak gadis menyanyi ataupun membatik.
Mereka pasti akan lebih suka berfoya-foya,”
“Aku
memang sangat mencintai budaya bangsaku, khususnya budaya Kaltim, tanah
kelahiranku. Aku takut suatu saat nanti warisan budayaku diambil negara lain
maka dari itu aku harus menjaganya dengan baik. Begitu juga dengan masyarakat
lain, termasuk kamu. Kamu juga harus pandai menjaga warisan budayamu agar tidak
diambil alih oleh bangsa lain,” jelas Rindu.
“Aku
memang bukanlah anak normal seperti halnya kamu dan lainnya. Aku adalah seorang
tunanetra, tidak bisa melihat keindahan ciptaan Tuhan. Namun, aku tidak pernah
berkecil hati. Walaupun aku seorang tunanetra, aku mampu menujukkan kecintaanku
terhadap bangsaku sendiri dan menjaganya dengan baik,” lanjut Rindu. Marissa
memandang Rindu dengan tatapan lekat. Ia merasa sosok Rindu adalah sosok yang
kuat dan tangguh serta sangat peduli dengan kecintaan terhadap budaya. Berbeda
halnya dengan dirinya yang gampang putus asa dan selalu menangisi sebuah
kenyataan yang ada.
“Aku
bangga padamu. Kamu hebat sekali! Aku bersyukur Tuhan mengizinkanku bertemu
denganmu,”
“Terima
kasih atas pujianmu, Marissa. Kamu juga hebat. Kamu normal, kamu lebih dariku.
Kamu bisa tunjukkan bakatmu. Jangan pernah menyerah dan tetap semangat,” kata
Rindu memberi semangat.
“Sebaiknya
kamu pulang. Hari sudah semakin sore. Orangtuamu pasti cemas menunggumu,” ujar
Rindu. Marissa kemudian mengangguk.
“Aku
pulang dulu, Rindu. Suatu saat nanti kita pasti bertemu lagi,”
“Iya.
Sampaikan salamku untuk orangtuamu,” Mereka pun kemudian berpisah.
Selama
perjalanan menuju rumah, Marissa terus tersenyum. Ia sangat bahagia telah
bertemu dengan sosok Marissa yang begitu kuat dan tangguh. Ia berjanji akan lebih
semangat lagi menjalani hidup dan menujukkan bakatnya demi mewujudkan impian
sang mama.
“Dari
mana saja kamu? Mama sibuk mencarimu!” tanya mama kasar sesampainya Marissa
dirumahnya.
“Maafkan
Marissa, ma. Marissa pergi tanpa izin dari mama. Tadi pagi, Marissa pergi
menyusul ayah ke bandara. Namun, petugas tidak mengizinkan Marissa masuk.
Setelah itu, Marissa bertemu dengan sesosok gadis tunanetra. Namanya Rindu. Dia
hebat, ma. Dia bisa membuat batik tulis dengan bagus. Suaranya merdu. Dia
mengajarkan kepada Marissa arti ketidak putus-asaan dan selalu semangat dalam
menjalani hidup,” jelas Marissa dengan kepala tertunduk. Mamanya melihat
Marissa dengan lekat. Matanya berkaca-kaca. Kemudian, mama pun memeluk tubuh
anak gadisnya itu.
“Maafkan
mama ya, sayang. Semenjak perceraian itu, mama menjadi kasar dan tidak peduli
kepadamu. Mama selalu memaksamu menjadi anak the best. Mama lakukan ini karena
mama tidak ingin masa depanmu rusak akibat perceraian yang membuatmu pedih dan
terus-terusan menangis. Maafkan mama karena mama terlalu memaksamu. Mama sayang
kamu,” ujar sang mama. Seketika itu, air mata Marissa meleleh.
“Iya,
ma, tapi, Marissa ingin suatu hari nanti dapat membahagiakan mama dengan
prestasi yang Marissa raih,” ujar Marissa. Mamanya hanya mengangguk.
Esok
harinya, tepatnya pada Hari Senin, ketika Marissa baru saja memasuki halaman
sekolah, dilihatnya sebuah karton berukuran lebar tertempel rapi di mading
sekolah bertuliskan: Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan. Karena
tertarik, Marissa pun segera menghubungi Bu Wanda, selaku ketua koordinator.
“Permisi,
Bu. Saya Marissa dari kelas tujuh. Saya ingin mendaftar untuk seleksi Pemilihan
Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan itu,” ujar Marissa sopan.
“Baiklah.
Ibu akan catat nama kamu. Istirahat nanti ya, seleksinya. Jangan sampai
ketinggalan,” Marissa hanya mengangguk kemudian bergegas menuju kelasnya.
Pada
saat bel istirahat, Marissa segera menuju aula sekolah sebagai tempat seleksi.
Dilihatnya banyak sekali anak-anak satu sekolahnya yang mengikuti seleksi ini.
“Marissa,
silahkan maju!” panggil Bu Wanda.
“Baiklah,
Disini saya akan menyanyikan lagu Lamin Talungsur. Lagu khas berbahasa kutai
yang sangat terkenal di Kaltim,” urai Marissa sopan. Bu Wanda hanya tersenyum.
“Basurung ke ulu rantau tujuan,
Basunsung surut mangiring pasang, Rantau tujuan lamin talungsur adidindang,
Kissarini kunun jadi susuran,”
“Lamin talungsur la nama rantaunya,
Nyadi susuran jaman ka jaman, Adalah kunun ini kissanya adidindang, Si Ayus
mangail baulli kali,” Bu Wanda tersenyum lebar. Ternyata,
suara Marissa merdu sekali. Apalagi nada lagu lamin talungsur ini sangat cocok
dengan karakter vokalnya.
“Suara
kamu merdu sekali!” puji Bu Wanda usai Marissa menyanyi. Marissa hanya tersenyum
lugu.
“Baiklah.
Ibu akan rundingkan seleksi ini dengan dewan guru lainnya untuk menentukan
siapa yang berhak mewakili sekolah,”
Sekitar
sembilan puluh menit kemudian, akhirnya Bu Wanda selesai merundingkan hasil
seleksi dengan dewan guru lainnya.
“Baiklah.
Sekarang adalah penentuan dan yang akan mewakilkan sekolah untuk Pemilihan Duta
Suara Lagu Daerah se-Balikpapan ini adalah...Marissa Rachmasari!!!” Marissa
tersenyum bangga karena ia terpilih mewakilkan sekolah dalam ajang tersebut.
Seluruh teman-temannya bertepuk tangan. Ia tersenyum dan akan berusaha untuk
berlatih semaksimal mungkin untuk ajang tersebut.
Sejak
saat itu Marissa berlatih sangat keras karena lomba itu akan berlangsung dua
hari mendatang. Ia latihan tak kenal waktu. Walaupun lelah ia tetap berlatih.
Ia ingin menjadi pemenangnya. Membawa harum nama sekolahnya sekaligus
membahagiakan mamanya.
Hari
yang ditunggu-tunggu Marissa akhirnya tiba. Lomba akan berlangsung hari ini. Ia
segera bersiap menuju tempat pelaksanaan lomba tersebut bersama mamanya.
Mamanya datang untuknya demi memberi semangat kepadanya. Marissa senang sekali!
Sesampainya disana, ia segera duduk di kursi peserta dan mendapat nomor urut 24
untuk tampil. Cukup lama dan ia sejak tadi sedikit nerveous, namun dukungan dari guru, teman sekolahnya, terutama
mamanya sedikit menenangkan hatinya.
“Sekarang,
Giliran peserta dengan nomor urut 24!” kata pembawa acara yang suaranya
terdengar keras di megafon. Marissa pun kemudian maju. Ia mulai bernyanyi.
“Basurung ke ulu rantau tujuan,
Basunsung surut mangiring pasang, Rantau tujuan lamin talungsur adidindang,
Kissarini kunun jadi susuran,” Seluruh penonton
membelalak mendengar suaranya yang bagus dan begitu merdu.
“Indah
sekali suara Marissa! Aku yakin dia pemenangnya!” ujar salah satu teman sekolah
Marissa disetujui dengan anak-anak lainnya. Selesai bernyanyi, ia menghormat
lalu kemudian turun panggung.
“Bagus
sekali suaramu, Sayang!” komentar mama seraya memeluk Marissa dengan erat.
Marissa hanya tersenyum senang. Lalu, beberapa menit kemudian, pembawa acara
berkata bahwa sekarang saatnya penentuan kemenangan.
“Sekarang
adalah penentuan kemenangan. Menurut polling dari dewan juri yang berhak
memenangkan ajang ini adalah...Wardalina Althansa!” Marissa kaget begitu juga
dengan teman-temannya. Seluruh penonton bertepuk tangan. Sesosok gadis bernama
Wardalina itu tersenyum senang seraya dipakaian mahkota sebagai pemenang.
Marissa yang melihatnya hanya bisa tersenyum sedih.
Usai
ajang Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan, Marissa pun pulang
bersama mamanya dengan perasaan sedih.
“Ma,
Maafkan Marissa, ya! Ternyata, Marissa kalah. Marissa pikir, Marissa yang bakal
menang,” ujar Marissa sedih saat di dalam mobil. Mamanya melihatnya lalu
tersenyum seraya menyentuh pipi Marissa.
“Tidak
apa-apa, Sayang. Walaupun kamu kalah, Mama tetap bangga punya anak sepertimu.
Bagi mama kamu yang terbaik daripada pemenang yang tadi. Kamu hebat, Sayang!
Mama sayang sama kamu!” Mamanya kemudian memeluknya dengan erat. Marissa
tersenyum penuh bahagia. Inilah pelukan kasih sayang dari mamanya yang sangat
diidam-idamkan olehnya semenjak perceraian ayah dan mamanya yang nyaris membuat
mamanya seolah melupakannya. Namun, kini mamanya telah kembali. Kembali
menyayanginya dan mencintai dirinya dengan tulus dan penuh kasih sayang.
Marissa menatap langit-langit mobilnya. Kemudian, lubuk hatinya berkata, ‘Terima kasih, Rindu! Senandung merdumu akan
selalu teringat olehku. Ketangguhanmu juga akan selalu terekam dalam setiap
langkah hidupku. Terima kasih telah menyemangatiku. Aku bersyukur Tuhan
memberiku izin bertemu denganmu. Aku berharap suatu saat nanti aku dapat
bertemu dengan sosokmu lagi. Jangan lupakan aku dan tetaplah menjadi penyinar
semangat dalam hidupku!’
sorry,aku bukan mau coment tentang cerpennya...but,aku mau protes sesuatu...HAPUS FOTONYA NAH...GANTI YANG LAIN!
BalasHapus