Selasa, 12 Juni 2012

Senandung Sang Rindu


Pagi menjelang. Matahari mulai menampakkan wajahnya di baris pesona langit biru yang sangat cerah dengan dipadukan sinarnya yang begitu menghangatkan. Hembusan angin pagi pun mulai terasa menyejukkan jelaga jiwa dan melengsanakan hati yang lagi gundah. Burung-burung pun tampak berterbangan membuat cakrawala khatulistiwa pagi itu menjadi sangat indah dan membahagiakan.
Suasana alam memang sangat mencerahkan, tetapi, tidak untuk Marissa. Walaupun suasana diluar sangat cerah tetapi suasana hatinya sedang tidak cerah mengingat banyaknya berbagai macam masalah yang dihadapinya. Diaduk-aduknya terus nasi goreng hangat yang tampak lezat di hadapannya. Namun, ia tidak nafsu makan meningat segala desakan maupun paksaan mamanya yang membuatnya capek dan lelah mendengarnya. ‘Pokoknya kamu harus jadi anak pintar! Berprestasi. Minimal juara kelas. Mama tidak ingin punya anak pemalas dan bodoh. Karena itu sama saja merusak reputasi dan nama baik mama di perusahaan sebagai seorang manager,’ itu yang selalu mamanya ucapkan setiap hari sehingga membuat gadis itu capek dan muak untuk mendengarnya. Reputasi, nama baik, karier, hanya itu yang dikejar oleh mamanya tanpa memikirkan anak gadisnya yang tengah dibuat pusing olehnya.
“Non Marissa...dimakan dong, nasi gorengnya. Jangan diaduk-aduk saja. Apa masakan bibi tidak enak?” tegur Bi Ningsih lembut.
“Oh...ehmm...tidak kok, Bi, enak masakan bibi. Marissa hanya malas sarapan aja,” kata Marissa buyar dari lamunannya.
“Dimakan dong, Non! Nanti Non Marissa bisa sakit, lho. Kalau Non Marissa sakit entar bibi juga yang repot,”
“Ehm, iya deh, Bi. Ini Marissa makan nasi gorengnya,” ujar Marissa mulai menyendok nasi goreng ke mulutnya.
Usai sarapan pagi dilihatnya sang mama baru bangun dari tidurnya dan menuju meja makan untuk mengambil segelas susu hangat. Sang mama bersikap acuh tak acuh seolah tak peduli dengan keberadaan anaknya.
“Ma...,” Marissa membuka awal pembicaraan.
“Ada apa? Kalau mau ngomong cepat. Mama mesti buru-buru mandi terus ke kantor. Hari ini mama harus menemui klien mama,” ujar mamanya ketus. Marissa menatap mamanya sedih sementara mamanya seolah membuang muka padanya. Bi Ningsih hanya bisa menitikkan air mata melihat Marissa yang diperlakukan tak acuh oleh sang mama.
“Nggak, Ma. Marissa hanya pengen pamit berangkat sekolah,” kata Marissa. Mamanya mengulurkan tangannya sambil meneguk segelas susu dan masih tetap membuang muka kepada anaknya itu. Marissa kemudian menyalami tangan mamanya dengan sopan lalu kemudian segera beranjak mengambil tas ranselnya dan berangkat menuju sekolah.
“Hei! Ternyata Nona Stupid sudah datang,” teriak beberapa siswa seketika Marissa baru saja tiba di depan kelasnya. Marissa hanya menunduk menahan air matanya yang hampir jatuh. Sehari-harinya di sekolah Marissa memang dijuluki Nona “Stupid”. Mungkin dikarenakan nilainya yang jelek dan selalu dibawah standar SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Siswa).
“Apa-apaan sih kalian. Kalian emang mau apa dikatain kayak gitu juga, Hah?!?” bela Regita, sahabat baik Marissa. Anak-anak satu kelas langsung mengunci mulut.
“Yuk, keluar kelas! Disini tidak aman buatmu,” ajak Regita seraya menggandeng tangan Marissa keluar kelas.
“Ta, mungkin aku adalah manusia paling bodoh yang ada di dunia ini. Jadinya sangat pantas aku dijuluki anak-anak Nona Stupid,” ujar Marissa saat di kantin.
“Kamu jangan berkata seperti itu, Marissa! Kamu tidak bodoh. Kamu hanya banyak pikiran. Pikiranmu hanya terpusat pada keluargamu yang lagi broken home dan kata-kata mamamu yang membuatmu capek dan muak,” ujar Regita lembut.
“Jangan terus berlarut-larut dalam kesedihan. Jangan pikirkan tentang broken home, perceraian ayah dan mamamu. Tataplah masa depanmu, Marissa! Berusaha untuk mewujudkan kata-kata mamamu. Kalau kamu sudah berusaha semaksimal dan semampu mungkin pasti mamamu akan bangga walaupun usahamu masih gagal,”
“Itu tidak mungkin terjadi, Regita...,” potong Marissa.
“Kenapa tidak mungkin? Aku yakin cepat atau lambat mamamu pasti akan sadar. Makanya kamu berusaha dulu menjadi yang terbaik seperti apa yang mamamu inginkan,” ujar Regita.
“Makasih ya, Ta! Kamu sahabatku yang paling baik. Aku heran, kenapa kamu mau berteman denganku? Padahal aku ini kan bodoh dalam pelajaran tidak sepertimu yang pandai dan aktif dalam organisasi sekolah,”
“Karena dari awal aku bertemu denganmu aku yakin kamu bukan orang yang bodoh seperti apa yang anak-anak bicarakan. Namun, kamu orang yang hebat dengan segala kesabaranmu menghadapi karakter mamamu yang seperti itu. Yah, walaupun kadang-kadang kamu menangis juga, tetapi, kamu tetap the bestlah!” ujar Regita. Kedua sejoli sahabat itu kemudian saling pandang lalu berpelukan dengan erat penuh kehangatan.
Sore hari, sepulang sekolah, Marissa melihat sebuah mobil Merchedes Benz berwarna hitam tampak terparkir di luar pagar rumahnya. Marissa cepat-cepat menyadari karena mobil yang terparkir itu adalah mobil ayahnya. Segera ia membuka pagar rumahnya dan berlari menuju ruang tamu. Dilihatnya disana sang ayah sedang terduduk, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.
“Ayah?!?” Marissa berteriak.
“Sayang, Ayah kangen kamu!” Sang ayah kemudian berlari dan memeluk anaknya dengan erat.
“Ayah, jangan pergi! Temani Marissa disini aja. Marissa tidak ada temannya. Mama selalu tidak memedulikan Marissa, Mama lebih mementingkan kariernya daripada Marissa,” ujar Marissa dalam pelukan ayahnya.
“Ayah juga inginnya seperti itu, Sayang. Namun, itu sudah tidak bisa lagi. Ayah dan mama telah bercerai. Kamu mengertilah dengan kondisi ini, Sayang,” ujar sang ayah. Marissa menangis.
“Kenapa mesti bercerai, Ayah? Apakah keluarga kita yang dulu harmonis dan rukun tidak bisa menyatu kembali? Aku kangen masa itu. Ayah selalu menemaniku belajar dan mengajariku bermain scrabble ataupun catur. Aku kangen mama yang dulu selalu membacakan dongeng sebelum tidur untukku dan menyajikan masakan lezat dan istimewa untuk keluarga. Aku kangen itu, Ayah...,” Sang ayah hanya diam. Tidak tahu kata apa yang harus dikatakan. Sudah sedih hatinya mendengarkan keluh kesah anak gadisnya yang manis dan haus kasih sayang ini.
“Sudah kamu jangan menangis, Sayang. Kamu harus kuat dan tangguh menghadapi semuanya. Kalau kamu terus-terusan menangis dan bersedih kamu sama saja mengecewakan hati ayah. Jangan menangis ya...,” kata sang ayah menghapus air mata anaknya yang menetes. Marissa hanya tersenyum.
“Oh, ya, Sayang. Ini ayah pamit, ya. Besok ayah akan berangkat ke amerika. Ayah akan bertugas disana selama dua tahun,” ujar sang ayah.
“Dua tahun? Lama sekali,” keluh Marissa.
“Nanti ayah pasti akan secepatnya pulang, kok. Tenang saja. Kamu kan juga bisa kontak-kontakan dengan ayah selama ayah disana,” jelas ayah.
“Tapi ayah tidak bakal melupakan Marissa, kan?”
“Ya, tidak, dong. Kamu kan putri ayah yang paling cantik dan selalu ayah sayangi. Masa ayah lupa sama anak cantiknya ini,”
“Apa-apaan ini? Marissa masuk kamar!” Tiba-tiba, datanglah mama dengan wajah yang galak dan tatapan tajam.
“Tapi, ma...Marissa masih pengen sama ayah!”
“Tidak. Pokoknya masuk! Kamu jangan bandel, nurut apa kata mama!” tegas mama.
“Apa-apaan sih kamu membentak Marissa? Apa salahnya dia ingin bertemu denganku sebelum hari keberangkatanku?” ujar ayah marah.
“Sudahlah. Kamu tidak usah mencari gara-gara denganku. Apa kamu lupa bahwa hak asuh anak itu jatuhnya ke tanganku?” kata mama.
“Iya, Aku tahu. Namun, kamu tidak pantas membentak Marissa seperti itu. Marissa itu kan, anak kita. Kamu ini bagaimana, sih. Bukan seorang ibu yang baik,”
“Diamlah!”
“Kamu yang diam...,”
Marissa kembali melihat pertengkaran pahit itu. Karena tidak kuat, Marissa segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya dengan rasa sedih dan menusuk yang amat sangat.
Esok paginya, Marissa baru terbangun dengan wajahnya yang sembab karena air matanya yang terus mengalir sedari tadi malam. Segera ia menyingkirkan selimutnya dan beranjak membuka jendela kamarnya.
“Selamat pagi, Non Marissa!” sapa Bi Ningsih hangat yang tiba-tiba membuka pintu kamar Marissa.
“Pagi, Bi,” jawab Marissa singkat.
“Maaf ya, bibi masuk tanpa permisi. Habisnya, dari tadi malam Non Marissa belum makan. Jadinya bibi buru-buru masuk kesini untuk mengantar makanan,” kata Bi Ningsih sembari meletakkan nampan berisi makanan lezat di meja dekat lampu tidur.
“Terima kasih ya, Bi. Andai mama seperti bibi,” ujar Marissa dengan raut wajah sedih. Bi Ningsih kemudian mendekat ke arah Marissa lalu memeluknya.
“Non Marissa yang sabar, ya! Bibi yakin mama pasti akan secepatnya sadar dan kembali lagi seperti dulu. Mama itu hanya butuh waktu untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Pokoknya sekarang ini Non Marissa yang sabar aja dan tegar menghadapi semua ini,” Marissa tak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum dan senang memiliki seorang bibi yang sangat pengertian kepadanya.
Pukul sembilan pagi tepat. Segera Marissa menyuruh sopirnya berjalan mengemudikan mobil menuju bandara. Ia ingin menyusul ayahnya ke bandara dan melihat kembali ayahnya untuk terakhir kalinya.
“Pak! Cepat jalan ke bandara. Saya ingin menyusul ayah saya,”
“Baik, Non,” ujar sopirnya. Hanya lima menit waktu yang ditempuh menuju bandara. Akhirnya, ia pun tiba di bandara.
“Bapak pulang aja ke rumah. Nanti pulangnya saya tinggal naik taksi,” ujar Marissa kepada sopirnya.
“Apakah tidak saya tunggui saja, Non?”
“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri,” Sang sopir kemudian menuruti kata Marissa dan meninggalkannya. Marissa segera bergegas menuju ruang waiting room, tetapi sebelum masuk dicegat oleh petugas.
“Maaf, Adik ini mau kemana? Bisa saya lihat tiketnya?” tanya petugas itu.
“Aduh, Pak. Saya bukan penumpang. Saya hanya ingin menyusul ayah saya. Ayah saya penerbangan ke amerika,” jelas Marissa dengan gelisah.
“Oh, tidak bisa. Harus punya tiket dulu baru boleh masuk. Ayah adik penerbangan ke amerika bagian mana? Penerbangan ke amerika semuanya sudah berangkat kecuali tujuan Los Angeles, statusnya masih check-in,” Marissa bertambah bingung. Ia lupa menanyakan kepada ayahnya penerbangan amerika bagian mana.
“Aduh, saya tidak tahu, Pak, tapi, saya ingin masuk ke dalam. Siapa tahu ada ayah saya di dalam,” gerutu Marissa.
“Tidak bisa! Harus punya tiket dulu baru boleh masuk. Adik jangan nekat nanti saya laporkan ke pihak keamanan, lho,” ancam petugas itu.
“Tapi, saya mau masuk, Pak!”
“Tidak bisa! Harus punya tiket dulu!”
“Saya mohon, Pak. Izinkan saya masuk,”
“Tidak! Saya tidak mengizinkan,”
Akhirnya, Marissa mengalah. Dengan langkah lemas ia mulai meninggalkan sang petugas. Ia duduk di sekitar pinggiran bandara sembari menangis sendu menyebut nama ayahnya. Namun, tidak ada yang peduli. Semua sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Sungguh tragis sekaligus menyedihkan bila dirasakan, namun, Marissa tetap berusaha kuat melewatinya.
Setelah puas menangis, Marissa segera berdiri dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. Hatinya kini tegar menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah pergi ke amerika dan mereka akan berjumpa lagi dua tahun mendatang. Waktu yang cukup lama, namun ini sudah menjadi titik keputusan ayahnya. Perlahan, Marissa mulai meninggalkan bandara dan berjalan menuju arah yang tidak dikenalnya. Hari ini, ia memutuskan untuk tidak kembali ke rumahnya karena ia ingin mencari suasana baru, sebuah suasana yang mungkin saja mampu menenangkan gejolak jiwanya dan hatinya yang kini lagi rapuh.
Satu jam sudah ia berjalan menuju arah ke sebuah desa dan lingkungan yang terpencil yang ia dapatkan hanyalah sebuah sia-sia. Ia memutuskan untuk pulang namun tiba-tiba...
Lamin talungsur la nama rantaunya, nyadi susuran jaman ka jaman...,
“Indah sekali suaranya! Siapa gerangan yang sedang menyanyi itu?” Marissa merasa terkagum. Segera ia mencari asal suara itu. Lalu, ia kemudian menemukan sesosok gadis berambut panjang sedang menyanyi di atas rumput persawahan. Pelan-pelan, Marissa mendekatinya kemudian dengan tepat ia duduk di samping gadis itu hingga gadis itu selesai menyanyi.
“Wow, bagus sekali suaramu!” puji Marissa kepada gadis itu.
“Terima kasih. Maaf kula siapa?” tanya gadis itu tersenyum.
“Kula?” Marissa bingung.
“Maksudku, Siapa kamu?” tanya gadis itu lagi.
“Oh, perkenalkan namaku Marissa. Penggemar berat suaramu yang begitu merdu,”
“Aku Rindu. Terima kasih atas pujiannya. Aku senang sekali,” ujar gadis bernama Rindu itu sembari tersenyum dengan ramahnya.
“Apa nama lagu yang barusan kamu bawakan?” tanya Marissa penasaran.
“Lamin talungsur. Lagu khas dari Kaltim. Oh, ya, kamu turis?” tanya Rindu.
“Bukan. Aku orang Kaltim asli lebih tepatnya dari Balikpapan,” jelas Marissa.
“Masa kamu tidak tahu lagu Lamin Talungsur ini? Lagu ini sangat terkenal lho di Kaltim,”
“Oh, ya? Aku tidak tahu. Aku memang sedikit kurang memahami budaya yang ada di Kaltim ini,” cengir Marissa.
“Tidak apa-apa. Kamu pasti orang kota. Aku memahami orang kota yang tidak tahu banyak dengan budaya Kaltim,” ujar Rindu. Marissa hanya tersenyum. Sesaat Marissa baru menyadari ada keganjalan dengan Rindu. Sedari tadi, Rindu tidak menatapnya. Pandangannya lurus ke depan. Apakah Rindu seorang tunanetra?
“Maaf jika sedikit menyinggung, Apakah kamu seorang tunanetra?” tanya Marissa hati-hati.
“Iya. Aku seorang tunanetra,” jawab Rindu pelan.
“Maaf ya jika pertanyaanku sedikit membuatmu sakit hati,”
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Lagi pula, aku memang seorang tunanetra, kan? Kalau itu fakta buat apa aku sakit hati?” ucap Rindu. Marissa terdiam sesaat. Dalam hatinya ia berkata, ‘Tangguh sekali gadis ini! Walau seorang tunanetra ia tak malu dengan kekurangannya itu,’
“Hei, Kenapa diam? Mau tidak ke rumahku? Aku ingin memperkenalkan kepadamu tentang salah satu budaya yang ada di Kaltim ini,” kata Rindu membuyarkan suasana kediaman.
“Oh, boleh sekali! Kelihatannya sangat seru,” Dengan langkah penasaran, Marissa mengikuti langkah Rindu menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, ia sangat menikmati udara siang begitu hangat dan tidak terlalu terik dan padi yang tampak tumbuh di area persawahan ini. Sesampainya Marissa di rumah Rindu yang begitu sederhana, Marissa tampak terkesima. Ia melihat tumpukan batik tulis khas Kaltim yang tampak tersusun rapi di sebuah rak dengan wangi batik yang begitu khas.
“Wah, batik tulis ini indah sekali! Kamu yang membuatnya?” tanya Marissa terheran-heran.
“Iya, aku yang membuatnya. Batik tulis ini selalu kujual setiap harinya guna sebagai tambahan SPP sekolahku,” jawab Marissa.
“Bagaimana kalau kamu mengajariku cara membuat batik tulis?”
“Baiklah,” Rindu mengiyakan.
“Langkah pertama adalah membuat desain batik diatas kain mori dengan pensil atau biasa disebut molani,”
“Kemudian langkah keduanya  adalah menggunakan canting berisi lilin cair untuk melapisi motif yang diinginkan. Tujuannya agar saat pencelupan bahan ke dalam larutan pewarna bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena. Setelah cukup kering, celupkan kain ke dalam larutan pewarna,”
“Kemudian langkah terakhir atau biasa disebut nglorot dimana kain yang telah berubah warna direbus dengan air panas. Tujuannya untuk menghilangkan lapisan lilin sehingga motif yang digambarkan dapat terlihat jelas,” urai Rindu secara perlahan.
Marissa mengikutinya secara perlahan. Walaupun pertamanya sedikit belepotan, namun, hasil akhirnya jauh lebih bagus dari sebelumnya.
“Akhirnya, selesai juga! Bagaimana menurutmu?” tanya Marissa.
“Bagus dan tampak menarik. Hanya kurang rapi saja,” jawab Rindu.
“Bolehkah aku membawa batik tulis buatanmu ini? Aku ingin tunjukkan ini kepada orangtuaku,” pinta Marissa.
“Boleh. Kamu dapat mengambilnya tiga. Simpanlah ini semua. Anggaplah kenang-kenangan dariku,”
“Kamu hebat ya, Rindu. Sudah dapat menyayanyi dapat membuat batik tulis lagi! Aku kagum padamu. Zaman sekarang, boro-boro anak gadis menyanyi ataupun membatik. Mereka pasti akan lebih suka berfoya-foya,”
“Aku memang sangat mencintai budaya bangsaku, khususnya budaya Kaltim, tanah kelahiranku. Aku takut suatu saat nanti warisan budayaku diambil negara lain maka dari itu aku harus menjaganya dengan baik. Begitu juga dengan masyarakat lain, termasuk kamu. Kamu juga harus pandai menjaga warisan budayamu agar tidak diambil alih oleh bangsa lain,” jelas Rindu.
“Aku memang bukanlah anak normal seperti halnya kamu dan lainnya. Aku adalah seorang tunanetra, tidak bisa melihat keindahan ciptaan Tuhan. Namun, aku tidak pernah berkecil hati. Walaupun aku seorang tunanetra, aku mampu menujukkan kecintaanku terhadap bangsaku sendiri dan menjaganya dengan baik,” lanjut Rindu. Marissa memandang Rindu dengan tatapan lekat. Ia merasa sosok Rindu adalah sosok yang kuat dan tangguh serta sangat peduli dengan kecintaan terhadap budaya. Berbeda halnya dengan dirinya yang gampang putus asa dan selalu menangisi sebuah kenyataan yang ada.
“Aku bangga padamu. Kamu hebat sekali! Aku bersyukur Tuhan mengizinkanku bertemu denganmu,”
“Terima kasih atas pujianmu, Marissa. Kamu juga hebat. Kamu normal, kamu lebih dariku. Kamu bisa tunjukkan bakatmu. Jangan pernah menyerah dan tetap semangat,” kata Rindu memberi semangat.
“Sebaiknya kamu pulang. Hari sudah semakin sore. Orangtuamu pasti cemas menunggumu,” ujar Rindu. Marissa kemudian mengangguk.
“Aku pulang dulu, Rindu. Suatu saat nanti kita pasti bertemu lagi,”
“Iya. Sampaikan salamku untuk orangtuamu,” Mereka pun kemudian berpisah.
Selama perjalanan menuju rumah, Marissa terus tersenyum. Ia sangat bahagia telah bertemu dengan sosok Marissa yang begitu kuat dan tangguh. Ia berjanji akan lebih semangat lagi menjalani hidup dan menujukkan bakatnya demi mewujudkan impian sang mama.
“Dari mana saja kamu? Mama sibuk mencarimu!” tanya mama kasar sesampainya Marissa dirumahnya.
“Maafkan Marissa, ma. Marissa pergi tanpa izin dari mama. Tadi pagi, Marissa pergi menyusul ayah ke bandara. Namun, petugas tidak mengizinkan Marissa masuk. Setelah itu, Marissa bertemu dengan sesosok gadis tunanetra. Namanya Rindu. Dia hebat, ma. Dia bisa membuat batik tulis dengan bagus. Suaranya merdu. Dia mengajarkan kepada Marissa arti ketidak putus-asaan dan selalu semangat dalam menjalani hidup,” jelas Marissa dengan kepala tertunduk. Mamanya melihat Marissa dengan lekat. Matanya berkaca-kaca. Kemudian, mama pun memeluk tubuh anak gadisnya itu.
“Maafkan mama ya, sayang. Semenjak perceraian itu, mama menjadi kasar dan tidak peduli kepadamu. Mama selalu memaksamu menjadi anak the best. Mama lakukan ini karena mama tidak ingin masa depanmu rusak akibat perceraian yang membuatmu pedih dan terus-terusan menangis. Maafkan mama karena mama terlalu memaksamu. Mama sayang kamu,” ujar sang mama. Seketika itu, air mata Marissa meleleh.
“Iya, ma, tapi, Marissa ingin suatu hari nanti dapat membahagiakan mama dengan prestasi yang Marissa raih,” ujar Marissa. Mamanya hanya mengangguk.
Esok harinya, tepatnya pada Hari Senin, ketika Marissa baru saja memasuki halaman sekolah, dilihatnya sebuah karton berukuran lebar tertempel rapi di mading sekolah bertuliskan: Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan. Karena tertarik, Marissa pun segera menghubungi Bu Wanda, selaku ketua koordinator.
“Permisi, Bu. Saya Marissa dari kelas tujuh. Saya ingin mendaftar untuk seleksi Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan itu,” ujar Marissa sopan.
“Baiklah. Ibu akan catat nama kamu. Istirahat nanti ya, seleksinya. Jangan sampai ketinggalan,” Marissa hanya mengangguk kemudian bergegas menuju kelasnya.
Pada saat bel istirahat, Marissa segera menuju aula sekolah sebagai tempat seleksi. Dilihatnya banyak sekali anak-anak satu sekolahnya yang mengikuti seleksi ini.
“Marissa, silahkan maju!” panggil Bu Wanda.
“Baiklah, Disini saya akan menyanyikan lagu Lamin Talungsur. Lagu khas berbahasa kutai yang sangat terkenal di Kaltim,” urai Marissa sopan. Bu Wanda hanya tersenyum.
“Basurung ke ulu rantau tujuan, Basunsung surut mangiring pasang, Rantau tujuan lamin talungsur adidindang, Kissarini kunun jadi susuran,”
“Lamin talungsur la nama rantaunya, Nyadi susuran jaman ka jaman, Adalah kunun ini kissanya adidindang, Si Ayus mangail baulli kali,” Bu Wanda tersenyum lebar. Ternyata, suara Marissa merdu sekali. Apalagi nada lagu lamin talungsur ini sangat cocok dengan karakter vokalnya.
“Suara kamu merdu sekali!” puji Bu Wanda usai Marissa menyanyi. Marissa hanya tersenyum lugu.
“Baiklah. Ibu akan rundingkan seleksi ini dengan dewan guru lainnya untuk menentukan siapa yang berhak mewakili sekolah,”
Sekitar sembilan puluh menit kemudian, akhirnya Bu Wanda selesai merundingkan hasil seleksi dengan dewan guru lainnya.
“Baiklah. Sekarang adalah penentuan dan yang akan mewakilkan sekolah untuk Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan ini adalah...Marissa Rachmasari!!!” Marissa tersenyum bangga karena ia terpilih mewakilkan sekolah dalam ajang tersebut. Seluruh teman-temannya bertepuk tangan. Ia tersenyum dan akan berusaha untuk berlatih semaksimal mungkin untuk ajang tersebut.
Sejak saat itu Marissa berlatih sangat keras karena lomba itu akan berlangsung dua hari mendatang. Ia latihan tak kenal waktu. Walaupun lelah ia tetap berlatih. Ia ingin menjadi pemenangnya. Membawa harum nama sekolahnya sekaligus membahagiakan mamanya.
Hari yang ditunggu-tunggu Marissa akhirnya tiba. Lomba akan berlangsung hari ini. Ia segera bersiap menuju tempat pelaksanaan lomba tersebut bersama mamanya. Mamanya datang untuknya demi memberi semangat kepadanya. Marissa senang sekali! Sesampainya disana, ia segera duduk di kursi peserta dan mendapat nomor urut 24 untuk tampil. Cukup lama dan ia sejak tadi sedikit nerveous, namun dukungan dari guru, teman sekolahnya, terutama mamanya sedikit menenangkan hatinya.
“Sekarang, Giliran peserta dengan nomor urut 24!” kata pembawa acara yang suaranya terdengar keras di megafon. Marissa pun kemudian maju. Ia mulai bernyanyi.
“Basurung ke ulu rantau tujuan, Basunsung surut mangiring pasang, Rantau tujuan lamin talungsur adidindang, Kissarini kunun jadi susuran,” Seluruh penonton membelalak mendengar suaranya yang bagus dan begitu merdu.
“Indah sekali suara Marissa! Aku yakin dia pemenangnya!” ujar salah satu teman sekolah Marissa disetujui dengan anak-anak lainnya. Selesai bernyanyi, ia menghormat lalu kemudian turun panggung.
“Bagus sekali suaramu, Sayang!” komentar mama seraya memeluk Marissa dengan erat. Marissa hanya tersenyum senang. Lalu, beberapa menit kemudian, pembawa acara berkata bahwa sekarang saatnya penentuan kemenangan.
“Sekarang adalah penentuan kemenangan. Menurut polling dari dewan juri yang berhak memenangkan ajang ini adalah...Wardalina Althansa!” Marissa kaget begitu juga dengan teman-temannya. Seluruh penonton bertepuk tangan. Sesosok gadis bernama Wardalina itu tersenyum senang seraya dipakaian mahkota sebagai pemenang. Marissa yang melihatnya hanya bisa tersenyum sedih.
Usai ajang Pemilihan Duta Suara Lagu Daerah se-Balikpapan, Marissa pun pulang bersama mamanya dengan perasaan sedih.
“Ma, Maafkan Marissa, ya! Ternyata, Marissa kalah. Marissa pikir, Marissa yang bakal menang,” ujar Marissa sedih saat di dalam mobil. Mamanya melihatnya lalu tersenyum seraya menyentuh pipi Marissa.
“Tidak apa-apa, Sayang. Walaupun kamu kalah, Mama tetap bangga punya anak sepertimu. Bagi mama kamu yang terbaik daripada pemenang yang tadi. Kamu hebat, Sayang! Mama sayang sama kamu!” Mamanya kemudian memeluknya dengan erat. Marissa tersenyum penuh bahagia. Inilah pelukan kasih sayang dari mamanya yang sangat diidam-idamkan olehnya semenjak perceraian ayah dan mamanya yang nyaris membuat mamanya seolah melupakannya. Namun, kini mamanya telah kembali. Kembali menyayanginya dan mencintai dirinya dengan tulus dan penuh kasih sayang. Marissa menatap langit-langit mobilnya. Kemudian, lubuk hatinya berkata, ‘Terima kasih, Rindu! Senandung merdumu akan selalu teringat olehku. Ketangguhanmu juga akan selalu terekam dalam setiap langkah hidupku. Terima kasih telah menyemangatiku. Aku bersyukur Tuhan memberiku izin bertemu denganmu. Aku berharap suatu saat nanti aku dapat bertemu dengan sosokmu lagi. Jangan lupakan aku dan tetaplah menjadi penyinar semangat dalam hidupku!’