Minggu, 28 Agustus 2011

Saranghaeyo, Ayah!




     Aku duduk di depan meja belajar kamarku sambil menatapi pigura-pigura yang ada di sebelah meja belajarku. “AYAH JAHAAT!” teriakku kesal. “Kenapa Ayah lebih mementingkan urusan kantor Ayah daripada aku, Aku anak Ayah?!? Ayah jahaat...! Aku benci, benci, dan benci kepada Ayah!” ucapku lagi lalu...PRAANGG!!! Aku segera membanting salah satu pigura yang ada. Pigura yang berisikan fhotoku bersama ayah dan almarhumah ibuku di sebuah pusat pariwisata. “Ayah kenapa sih, semenjak ibu meninggal Ayah selalu mementingkan pekerjaan Ayah? Ayah kenapa sih, nggak pernah mempedulikan aku sedikit pun? Ayah seolah melupakan aku! Kenapa, Kenapa?” teriakku sambil membanting-banting sisa-sisa pigura yang ada. Hatiku berkecambuk. Marah...benci...kesal kepada Ayahku. Ayah yang kuanggap perhatian tetapi ternyata tidak perhatian. Ayah yang kuanggap penyayang dan penuh kasih sayang...ternyata tidak penuh kasih sayang. Ayah selalu, selalu, dan selalu melupakan aku. Ayah nggak pernah menumpahkan kasih sayangnya untukku. Ayah melupakanku. Ayah membiarkanku hidup sendiri. Ayah jahat! Aku benci Ayah!
     Selesai aku berteriak-berteriak dan meraung-raung tak jelas di dalam kamar, aku segera keluar kamar sambil menenteng tas ranselku. Kamu tahu tindakan apa yang akan aku lakukan? Ya, aku akan kabur! Aku sangat muak di rumah ini. Rumah ini begitu memuakkan. Terasa sepi dan sunyi bagaikan kuburan. Lebih baik, aku kabur saja. Ke rumah tanteku. Daripada stres sendirian di rumah ini. Aku segera memakai mantel buluku lalu segera mengunci rumah. Kuncinya aku taruh di loker depan rumah. Sebelum pergi, aku menulis surat singkat untuk Ayah. Begini isinya: Ayah...Aku pergi! Aku kabur! Jangan pernah cari aku! Urusin aja pekerjaan Ayah. Jangan pernah urusin aku. Ayah sudah nggak sayang lagi sama aku...Ayah sudah nggak menganggap aku sebagai anak Ayah. Lebih baik...Aku kabur! Jangan pernah berharap aku akan kembali ke rumah ini...Karena aku tidak akan pernah kembali...,’ tulisku. Lalu, aku segera menaruh surat tersebut di meja teras. Aku langsung berlari cepat meninggalkan rumah, menuju rumah Tante Nessa, tanteku!
     “Assalamu’alaikum...,” aku mengetuk pintu rumah Tante Nessa dengan salam yang sopan. “Wa’alaikum salam...,” sahut seseorang di dalam. Pintu rumah Tante Nessa terbuka. Tante Nessa, di hadapanku. Dia begitu terlonjak menghetaui diriku datang di siang bolong gini, sendirian. “Rena?” ucap tanteku kaget. “Ya, Tante, Assalamu’alaikum,”  aku mencium tangan Tante Nessa dengan sopan. “Wa’alaikum salam, Sayang. Kamu kesini sama siapa? Ayah kamu mana?” tanya Tante Nessa bingung. “Aku kabur dari rumah, Tante!” jawabku datar. “Apa? Kabur?” Tante Nessa tercengang ketika mendengar jawabanku barusan. Lalu, ia mempersilahkan diriku masuk ke dalam rumahnya sembari memberikanku segelas air putih. “Kamu kabur?” Tante Nessa mengulang pertanyaannya. Aku hanya mengangguk lemah. “Apa yang kamu lakukan, Sayang? Tante tidak mengerti sama tingkah laku kamu ini...,” kata tanteku. Aku menghela napas, lalu menjawab..., “Aku muak di rumah tante! Aku merasa, Ayah tidak lagi menyayangiku seperti dahulu. Ayah tidak sayang lagi padaku. Ayah membiarkan aku dan tidak lagi menganggapku sebagai anak...,” jawabku. “Astaugfirullah, Sayang! Kenapa kamu berpikiran se-negatif itu? Istigfar. Nggak baik menuduh Ayah kamu seperti itu...,” kata Tante Nessa seraya mengelus pundakku. Aku menundukkan kepala lalu menatap wajah Tante Nessa. “Tapi, itu memang benar tante! Ayah seperti itu! Ayah nggak sayang lagi sama aku, Ayah mengucilkanku dan Ayah tidak lagi menganggapku sebagai anaknya!” teriakku. Tante Nessa terdiam. Dia menghembus napas, lalu mulai berkata, “Rena, Sayang. Asalkan kamu tahu saja. Sejujurnya, Ayah kamu itu menyayangi dan mencintaimu, Sayang...,” ucapnya. “BOHONG! Aku nggak percaya!” jeritku. “Kamu tahu, Sayang? Setiap malam, Ayah kamu selalu datang ke kamarmu di saat kamu terlelap. Ayah mengelus rambutmu dengan penuh kelembutan, Ayah mencium keningmu dengan penuh kasih sayang, dan Ayah menggenggam tanganmu dengan erat seolah tak mau kehilangan kamu. Ayah pernah bercerita ke tante, seperti ini, ‘Nessa, Aku sejujurnya sangat menyayangi Rena. Aku masih mencintainya sampai saat ini, sampai detik ini. Mungkin, Rena menganggap aku sudah tidak sayang lagi padanya. Mungkin, Rena juga menganggap aku lebih mementingkan pekerjaanku daripada dia. Jujur, Ness...Kalau dia berpikiran seperti itu, dia salah! Aku bekerja sampai larut malam untuk dia. Aku ingin melihat dia bahagia. Aku ingin melihat dia menikmati dunia dengan tawaan dan senyuman dari hasil jerih payahku. Aku sayang sama Rena, makanya aku bekerja keras untuknya. Dia anak perempuan tersayang dalam hidupku. Dia adalah titipan Tuhan yang spesial. Aku sungguh tidak mau kehilangan dia...,” Aku menangis mendengar perkataan Tante Nessa barusan. “Apakah benar begitu, Tante?” tanyaku seolah tak percaya. “Ya, itu benar, Sayang! Tante saksinya. Ayah...begitu menyayangi dan mencintai kamu. Dia rela kerja sampai larut malam, demi kamu. Hanya demi kamu, anak tersayangnya...,” kata Tante Nessa lagi. Aku menundukkan kepalaku, memeluk kakiku, lalu menangis deras disana. Ya, Tuhan...Begitu bodohnya aku! Begitu jahatnya aku. Menuduh Ayahku yang tidak-tidak. Aku jahat, Aku bodoh, aku tolol! Aku harus minta maaf sama Ayah..., batinku dalam hati dengan seribu penyesalan yang ada.  “Tante, sepertinya aku harus pulang! Aku harus minta maaf sama Ayah...,” ucapku kepada tanteku. “Kamu tidak usah pulang, Sayang! Karena orang yang akan kamu minta-maafkan, ada disini,” Aku menoleh ke arah pintu. Tampak seorang pria berusia tiga puluh tahunan berdiri tegap disana sambil menyunggikan senyuman manis untukku. “Ayah?!?” aku tercengang. Lalu, aku segera berlari ke arah Ayahku dan memeluk Ayahku dengan erat. “Hiks...Hiks...Hiks...Ayah maafin Rena! Rena jahat sama Ayah. Rena menganggap Ayah sudah nggak sayang lagi sama Rena...Maafin Rena, Ayah...Maafin Rena...huhuhu,” tangisku kencang dalam pelukan kehangatan Ayahku. “Anakku Sayang..., Ayah sudah memaafkanmu dari dulu. Kamu tidak perlu menangis, Sayang! Hapus air mata kamu...,” kata Ayah melepas pelukan tubuhnya dari tubuhku lalu menghapus air mataku yang menetes menggunakan sentuhan tangan kanannya yang begitu lembut. “Maafin Ayah juga, ya, Sayang! Ayah kerja sampai malam tanpa bilang-bilang sama kamu, tapi, jujur saja, Ayah melakukan itu semua untuk kamu. Demi kamu, Anakku Sayang...,” kata Ayah mengecup keningku. Aku memeluk kembali Ayah. Tiba-tiba...mataku berasa berkunang-kunang, kepalaku pusing, dan badanku lemah. TIBA-TIBA...DUNIA MENDADAK GELAP!
***
     “Sayang...Sayang...Bangun, dong! Jangan tinggalkan Ayah sekarang...,” Tiba-tiba, aku mendengar sebuah sumber suara memanggilku dengan lembut. Aku mulai membuka kedua kelopak mataku. Kepala masih terasa berat, tetapi aku berusaha bangkit dari tidurku. “Ayah...,” ucapku lirih. “Kamu sudah sadar, Sayang?” tanya Ayah. Aku hanya mengangguk lemah. Ayah menyodorkanku segelas air putih hangat. Aku meminumnya. “Maafin aku, Ayah...,” ucapku lagi. “Iya, Sayang...Maafin Ayah juga, ya!” kata Ayah. Aku hanya mengangguk. “Ayah mencintaiku?” tanyaku. “Ya, Ayah akan selalu menyayangi maupun mencintaimu. Ayah akan terus menjagamu sampai maut menjemput Ayah...,” Aku tersenyum lalu memeluk Ayah dengan erat sembari berkata, “Saranghaeyo Ayah...,”
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar